Oktober, 2007
“Aa, masih ingat kan sama ibu Aisyah? Ibunya temanmu itu, lho?” tanya ibu ketika aku sedang memakai sepatu, siap-siap mau berangkat ke kampus.
“Ya, inget dong, beliau kan tetangga kita dulu. Memangnya ibu ketemu di mana?”
“Ngga sengaja ketemu pas di apotik.”
“Terus sekarang tinggal di mana? Waktu aku SMP kan, mereka sempat pindah rumah ke Riung Bandung.”
“Sekarang mereka tinggal di Jalan Tubagus Ismail, dekat sama kampus kamu, sekali-kali mampir lah ke sana.”
“Iya, Bu, udah lama banget ya ngga ketemu, hampir sepuluh tahun. Terus Taufik kuliah di mana?”
“Katanya sih di jurusan ilmu komunkasi UIN. Nih, ibu ada nomer hp ibu Aisyah, kamu sms-an dulu aja sebelum dateng ke rumahnya.”
Kukeluarkan ponsel dari saku jaket dan kusimpan nomor ibunda Taufik, lalu aku berpamitan kepada ibuku.
***
Beberapa hari kemudian setelah pulang dari kampus, aku langsung menuju rumah ibu Aisyah yang memang sedang ada di rumah menaiki belalang tempur kesayanganku Suzuki Thunder. Tidak susah mencari alamat rumahnya. Setelah berada di depan rumah yang dituju, langsung kubuka pagar yang ternyata masih digembok.
“Assalamualaikum, Bu, ini Rendy udah di depan rumah,” aku menghubungi ibu Aisyah lewat telepon.
“Oh, iya, tunggu sebentar.”
Tidak berapa lama, beliau muncul di hadapanku. Ibu Aisyah masih terlihat awet muda meskipun aku sudah lama tidak bertemu dengannya. Senyum ramah masih senantiasa mengembang di wajahnya. Spontan aku langsung menghampiri dan mencium punggung tangannya seolah-olah aku sedang sungkem kepada bibiku sendiri lalu dia balas dengan mengelus lembut rambutku.
“Ya Allah, Rendy sudah besar ya sekarang, ibu sampe pangling. Ibu dan bapakmu tidak ikut?”
“Beliau berdua sedang di Jatinangor mengurus soal warisan dari Kakek. Salam buat Ibu Aisyah dari mereka.”
“Oh iya, Ibu turut berduka cita ya atas meninggalnya aki, beliau orang baik. Ayo masuk-masuk. Eh iya, jangan lupa itu motornya dikunci, di sini rawan maling. Kejadiannya ngga kenal waktu, pak RT kehilangan motor saat siang hari.”
Aku langsung masuk ke ruang tamu yang pintunya setengah terbuka, sementara ibu Aisyah tidak ada. Dari ruang tamu tercium aroma masakan yang sedang digoreng. Sementara itu, terdengar suara ibu Aisyah yang setengah berteriak, mungkin karena jarak beliau berada dengan ruang tamu cukup jauh.
“Sebentar ya, Ren, ibu buatkan minum dulu.”
“Iya, Bu.”
Sambil menunggu, kulihat Zidan dan Maryam menghampiri untuk mencium tanganku. Mereka berdua sudah besar sekarang, terlihat semakin dewasa dan bersikap tenang, tidak ada lagi suara ribut-ribut di antara mereka seperti dulu.
“Teh Nurul tidak tinggal lagi sama kalian?” aku menatap Zidan dan Maryam secara bergantian.
“Ngga, dia tinggal sama suaminya,” jawab Zidan.
“Haris ke mana? Kok ngga keliatan?”
“Aa Haris lagi kuliah,” jawab Maryam.
“Zidan ini seumur sama Ryan, sekarang kelas 2 SMA, ya? Berarti Maryam kelas 3 SMP, ya?”
“Iya, Aa. Aku mau minta no hp Ryan,” katanya sambil mengeluarkan ponselnya dari saku celana.
“Boleh, Aa juga minta nomer hp aa Opik, ya.”
Saat aku memberitahu nomor ponsel adikku, Maryam bertanya, “Aa masih tinggal di Arcamanik?”
“Iya, masih, sama kayak dulu.”
“Oh, aku mau ngerjain PR dulu, ya.” kata Maryam yang semakin terlihat cantik.
Kujawab dengan anggukan, setelah memberikan nomor ponsel kakaknya padaku, Zidan mengucapkan terima kasih sambil berlalu dari hadapanku. Sambil menunggu ibu Aisyah, aku bermain ponsel.
“Nunggunya lama ya, Ren.”
“Ah, ngga apa-apa kok, Bu.”
“Silakan diminum dulu teh nya, mumpung masih hangat. Maaf ya, makanan ala kadarnya aja.”
Kulihat beberapa potong bakwan dan tempe mendoan goreng dengan wangi yang cukup menggoda.
“Rendy sekarang kuliah di jurusan apa?”
“Jurusan manajemen, Bu, kampusnya dekat dari sini. Taufik kuliah di UIN, ya?”
“Iya, lho, pernah ketemu ya?”
“Saya tau dari Ibu, katanya ketemu bu Aisyah di apotik.”
“Oh, iya-iya.”
Suasana sempat hening sebentar lalu ibu Aisyah melanjutkan bicara, “Ada yang ingin Ibu ceritakan samu kamu, Ren, ini menyangkut soal Taufik.”
“Ada apa dengan dia, Bu? Apa ada masalah?”
Jadi gini, Ren, Taufik itu sejak semester tiga aktif di kegiatan partai politik islami. Awalnya Ibu dan Bapak sangat setuju karena dia terlibat di kegiatan yang positif. Nilai-nilai keislaman selalu kami tanamkan kepada anak-anak. Memang Taufik tidak mendapat bayaran karena kegiatannya itu, tapi kami cukup mendukungnya. Belakangan ini, dari sekian informasi yang Ibu dapatkan sekaligus Ibu lihat sendiri melalui mata kepala Ibu sendiri, Taufik beserta kelompoknya itu sangat rajin mengkafir-kafirkan orang lain. Ibu rajin memantau status dia di facebook, media sosial itu jadi tempat buat berdakwah.” Usaha penerbitan buku