Juli, 2008
Entah kebetulan atau tidak, akhirnya aku dan Puput bisa melangsungkan ujian sidang skripsi dalam waktu yang hampir bersamaan, hanya beda sepuluh hari. Saat dia ujian sidang skripsi yang memang dilangsungkan secara terbuka, aku berjanji untuk hadir dan membantu segala perlengkapannya, begitu juga sebaliknya.
Kami saling memberikan dukungan dan semangat, saat dia sibuk bolak-balik revisi hingga mencetak skripsi dalam beberapa bendel, aku yang menemaninya ke tempat fotokopi. Saat aku menemui dosen pembimbing, dia selalu menunggu di luar ruang dosen agar kami berdua bisa makan bersama di kantin. Pernah juga kami nonton di bioskop sebagai penyegaran agar kami tidak jenuh menyelesaikan skripsi.
Satu jam sebelum sidang skripsi, aku sudah siap siaga di kampus, sementara teman-teman yang lain akan datang sepuluh hingga lima belas menit sebelum sidang dimulai.
Saat aku sedang duduk santai di pelataran kampus, Rina, teman dekat Puput menghampiriku.
“Hai, Ren, mau liat Puput sidang ya? Kasihan ya dia.”
“Kasihan kenapa memangnya? Aku yakin kok Puput bisa melewati semuanya, dia kan termasuk mahasiswa yang cerdas di antara kita.”
“Memang dia belum cerita ya selama ini sama kamu?”
“Belum, cerita aja ada masalah apa?”
“Beberapa bulan yang lalu, dia cerita ke aku kalo cowoknya yang namanya Roby itu sekarang terlilit utang karena kartu kredit. Cowo nya beli semua barang mewah, dari mulai hp, laptop, mobil, bahkan Puput dibelikan barang-barang mewah olehnya. Si Roby kan anak orang kaya, dia kerja di perusahaan milik bapaknya, ya namanya manusia ngga pernah merasa puas, ada aja yang kurang.”
“Terus Puput minta putus?”
“Ya, iya dong, kalo aku jadi dia bakalan ngelakuin hal yang sama, dan dia ingin kembalikan semua barang-barang pemberian Roby.”
“Katakanlah dia dibelikan tas, masak sih dia kembalikan tas itu pada Roby?”
“Ya mungkin maksudnya pengembalian secara nominal. Kamu tau sendiri kan selama ini Puput kalo ke kampus selalu pake angkot? Itu karena motor Yamaha Mio miliknya dijual. Dia suka minta dianter kesana kemari kan sama kamu?”
“Waktu itu dia bilangnya, motornya ngadat di bengkel, kapok bawa motor lagi.”
“Kamu setelah tau kejadian ini, diem aja ya, ngga usah tanya-tanya lebih jauh kecuali kalo dia yang cerita duluan ke kamu.”
Aku sempat terdiam sejenak, tidak menyangka atas kejadian yang telah menimpanya.
“Heh, kok kamu malah bengong? Setelah kalian berdua menyelesaikan skripsi sampai dengan revisi, kalian bisa lanjutin ke hubungan yang lebih serius di samping kalian juga pasti bakal mengejar karir impian kalian.” katanya sembari menepuk bahuku.
“Eh, kita langsung aja yuk ke lantai atas, siapa tau Puput butuh bantuan.”
***
Dua hari setelah sidang skripsiku, ketika aku sedang serius menatap layar laptop, Puput menelponku,
“Ren, pasti kamu lagi ngerjain revisi, ya?”
“Iya, memangnya kamu udah beres?”
“Belum, Ren, maka dari itu, aku mau ajakin kamu ke toko ATK buat beli kertas sama tinta printer.”
“Aku pikir kamu udah selesai ngerjain revisi, memangnya mau kapan?”
“Gimana kalo besok atau lusa?”
“Ya boleh besok juga, nanti kujemput di rumahmu.”
“Oke, makasih.”
Beberapa saat setelah menutup telepon, kudengar suara panggilan dari Ayah, “Ren, ke sini sebentar.”
Aku segera ke ruang televisi mengambil posisi duduk dekat dengan Ayah, sementara kulihat di meja depan televisi sudah ada dua cangkir kopi untuk kami beserta kue pastel dan risoles.
“Jadi gini, Ren, jauh sebelum kamu sidang skripsi, om Toni pernah titip pesen ke Ayah, kalo kamu mau bekerja di perusahaan temannya, akan dia usahakan, tapi tentunya setelah ijazahmu keluar.”
“Gimana menurut Ayah?”
“Ya jelas Ayah ngga setuju dong, itu kan salah satu bentuk nepotisme.”
“Mungkin Ayah ngga tau, selama ini aku ikut klub diskusi, aku jadi semakin paham soal sosialisme, kapitalisme. Asal Ayah tau aja, aku memutuskan untuk menjadi budak korporat, tapi bukan berarti aku menyesal memilih jurusan manajemen.”
“Ayah seneng kalo kamu sudah paham. Ayah ngga mau kalo kamu sama Ryan begitu dimanjakan dengan fasilitas dari orangtua maupun paman, apalagi kakekmu kan baru meninggalkan warisan yang berupa sawah dan tanah. Kamu tau sendiri kan, anak-anak mantan penguasa Orde Baru itu sekarang pada hidup enak, punya perusahaan ini itu, padahal belum tentu mereka kompeten. Ayah pengen kalian berdua merintis pekerjaan dari nol.”
Kami berdua tidak saling bercakap-cakap selama beberapa menit, dan yang kami lakuka adalah menikmati kudapan yang tersaji di meja depan kami.
***
Kupenuhi janjiku untuk mengantarkan Puput ke toko ATK yang biasa kami datangi. Aku sudah paham, tentu dia bukan cuma untuk membeli kertas, dia pasti akan lihat-lihat barang semacam pulpen, spidol, buku catatan, dan lain sebagainya. Kalau bagus dan menarik, pasti dibelinya barang-barang itu.
Kami menghabiskan waktu sekitar tiga puluh menit sebelum mengantri di kasir. Sambil menunggu giliran membayar, kami manfaatkan waktu untuk mengobrol. Lalu setelah kami berdua akan ke luar dari toko tersebut, aku melihat Nabila dari arah yang berlawanan hendak masuk ke toko. Aku kaget karena ternyata dia sekarang berpakaian serba longgar serta berhijab panjang menutupi dada dan punggungnya.
“Eh, Nabila, mau ngapain?”
“Cari perlengkapan menggambar untuk anak-anak.”
“Kamu kok sekarang udah jarang hadir di klub diskusi?”
“Iya aku sibuk sekarang, ada kerjaan sampingan,” jawabnya sambil tidak melihat langsung ke arahku.
“Put, kenalin, ini temenku.”
Mereka berdua langsung bersalaman serta menyebutkan nama masing-masing, sementara senyuman mereka berdua terlihat kurang tulus, ada perasaan canggung.
“Maaf ya, aku duluan, aku buru-buru, permisi.”
Setelah Nabila masuk ke toko, aku mengajak Puput untuk makan bakmi yang terletak tidak jauh dari toko itu. Sambil menunggu bakmi pesanan, kami berdua mengobrol.
“Put, meskipun ada beban revisi, tapi setidaknya kita agak plong ya sekarang?”
“Iya sih meskipun kita juga jadi sering mikirin soal kerjaan kita nantinya. Kamu sendiri setelah lulus, mau kerja apa? Kerja kantoran atau apa?”
“Awalnya sih dulu aku masuk jurusan manajemen karena ingin menjadi pekerja kantoran. Dulu kan aku pernah cerita soal om Toni ke kamu, inget kan?”
“Ya inget, dong, terus sekarang memangnya kenapa? Kamu udah berubah pikiran ngga mau kerja di kantor?”
Seorang pelayan restoran meletakkan dua buah gelas teh tawar di hadapan kami.
“Semenjak aku gabung di klub diskusi yang aku ikuti selama ini, jujur aja, banyak sekali wawasan dan ilmu yang kudapat. Sejak aku mempelajari soal sosialisme, kapitalisme, ya akhirnya aku memutuskan ogah untuk menjadi budak korporat.”
Puput mengernyitkan dahi lalu bertanya, “Terus sia-sia dong jadinya kamu kuliah di jurusan manajemen.”
“Ngga ada yang sia-sia, Put, justru aku kepengen membuka usaha. Kamu sendiri mau kerja yang gimana?”
“Yang jelas aku ingin kerja kantoran lah, tiap bulan dapet gaji tetap, kali berbisnis, aku ngga siap, mana tiap bulan penghasilannya ngga pasti. Aku masa bodoh deh dibilang budak korporat, yang penting bisa bikin bahagia orangtuaku.”
“Kalo kamu buka usaha, memang kamu udah siap sama modalnya?”
“Ya belum sih, aku juga bingung.”
“Ya udah mendingan kerja kantoran dulu sambil ngumpulin modal buat usaha kamu.”