Cakrawala

Cellestine
Chapter #1

Satu

Kendra

Yes. Akhirnya gue menghirup udara kota. Setelah terpuruk satu minggu lebih cuma liatin hutan, gunung serta makhluk-makhluk hidup di sekitarnya, hari ini gue ditugasin ke kota buat ngambil pasokan barang kiriman dari markas besar di Jakarta. Dan itu berarti... surga dunia. 

Gimana enggak. Setidaknya gue bisa cuci mata bentar. Lumayanlah liat turis-turis kinclong satu dua yang kebetulan berwisata di sini, ajib-ajib sambil nongkrong, dan yang pasti ngupdate koleksi video skidipapap kesayangan gue. Mumpung koneksi internet lancar. Kering gue, di barak isinya cuma cowok doang. Namanya juga barak tentara. Ada sih beberapa cewek di tim medis volunteer. Tapi yang kinclong dan seumuran gue cuma satu, itupun udah diembat sama bapak Kapten. Dikelonin mulu tiap malem. 

Pasti pada penasaran kan siapa gue?

Oke, nama gue Chakra Kendra Dhananjaya. Panggil aja Kendra. Anggota Satuan Tugas Pengamanan Perbatasan RI-RDTL Yonif Raider 408/Sbh atau yang disingkat Satgas Pamtas. Dengan berbekal kemampuan gue sendiri, pangkat Letnan Kolonel bisa gue dapatkan. Bapak gue kerjanya cuma jadi OB, sementara ibuk jadi tukang bikin tempe di rumah. Kondisi keuangan keluarga gue yang serba pas-pasan menjadikan gue nggak punya cukup biaya buat kuliah. Makanya begitu lulus SMA gue langsung daftar TNI. Eh, keterima. Padahal gue cuma modal nekat aja waktu itu.

Nasib gue nggak semulus dua sohib gue, Kolonel Satriya Adinegara dan Mayor Tristan Anggara Putra. Tristan lolos karena ada duit, sementara Satriya emang punya channel kuat di kursi para petinggi. Gimana enggak, bapaknya perwira tinggi di Jakarta sono. Bentar lagi paling juga dia dinaikin pangkatnya tanpa perlu susah payah banyak usaha. 

Lah, kalau bapaknya orang penting kenapa Satriya bisa sampai ditugaskan ke pelosok sini? Nggak tau pastinya sih, tapi gue pernah denger gara-gara dia nggak mau di suruh nikah sama bokapnya. Emang guguk tuh orang. Udah enak-enak disuruh kawin, eh malah kabur trus kelonan sama cewek lain di sini. Lha gue, jomblo terus tiada akhir. Ngenes. 

Lebih ngenesnya lagi, gue yang berbagi kamar sama Tristan, harus denger suara-suara ghaib tiap malem dari kamarnya bapak Kolonel. Suara desahan cewek dan geraman lelaki. Huh, serem pokoknya. Mentang-mentang dia pucuk komando, dapet jatah kamar sendiri, seenaknya aja menyiksa bawahannya. Bisa bayangin dong gue yang berdua sama Tristan denger kayak gitu. Mending kalau Tristan cewek, bisa gue mintain tolong buat bantu ngocokin. Masalahnya Tristan tuh cowok, ya masak kita kocok-kocokan. Jijay...

Tapi gue akuin Talitha tuh bening banget. Satu-satunya penyegar mata di barak. Dia tergabung dalam relawan kesehatan sebagai perawat. Udah diincer sama pak Kolonel sejak pertama datang ke sini. Oh iya, ngomongin tentang tempat gue ditugasin, nama daerahnya Atambua. Sebuah kota di perbatasan antara Nusa Tenggara Timur dan sang mantan 'Timor Leste'. Tapi bukan di kotanya gue ditempatin, di daerah paling ujung yang membatasi wilayah NKRI dengan RDTL. Garda depan penjaga keutuhan dan keamanan negara.

"Mau langsung pulang apa nongki-nongki dulu nih?" Tristan nanya ke gue.

"Pake nanya lagi. Nongki dulu lah. Udah kering gue"

"Siap laksanakan, Pak" Lelaki itu memberi hormat ke gue dengan tatapan bercanda. 

"Tiga jam lagi kita ketemu di sini"

"Tiga jam? Empat jam lah? Mana puas adik gue kalau cuma sebentar"

"Ya elah lo, selangkangan aja diurusin"

"Daripada karatan? Dikocokin sendiri mulu. Mumpung di kota nih. Cari cewek bening dikit, dialusin, dapet goyangan deh. Sakit adek gue denger ritualnya pak Komandan tiap malem. Butuh tempat penyaluran"

Dasar teh celup.

"Ya udah. Empat jam ya? Lo nggak muncul gue tinggal"

"Siap pak" lagi-lagi dia memberi hormat sebelum melenggang pergi.

Lihat selengkapnya