Khanza
Gue nggak pernah nyangka bakalan di buang ke daerah terpencil kayak gini sama bokap kandung gue sendiri. Ya walaupun kalau dipikir-pikir ini salah gue sendiri sih. Bikin malu keluarga lagi. Jadi bokap gue itu termasuk dalam jajaran perwira tinggi TNI AD, Mayor Jenderal Bakti Wiraguna. Lha waktu ada razia dan sweeping gabungan TNI-POLRI di Jakarta, gue ketangkep lagi asik-asik dugem di salah satu tempat hiburan malam terkenal. Pada heboh dong anak semata wayangnya Pak Mayor Jenderal Bakti Wiraguna, orang yang paling disegani dan dijadikan teladan seluruh prajurit TNI se-Indonesia Raya, ternyata nggak becus ngurus anak sendiri. Bisa bayangin muka bokap gue waktu gue ketangkep? Aduh, nggak lagi-lagi deh. Serem banget. Pernah liat seorang komandan tentara marah? Pernah dimarahin bokap sendiri? Nah gabungin aja tuh, dimarahin bokap sendiri yang notaben-nya adalah seorang komandan besar. Kalau gue ini es batu, udah mencair lalu menguap tak bersisa.
"Kamu Papa sekolahin jauh-jauh ke Jakarta jadi dokter tapi malah bikin malu keluarga!"
Gue diem nggak berkutik. Udah mewek pengen nangis tapi kalau gue nangis Papa malah makin naik emosinya.
"Mau jadi apa kamu! Anak gadis keluyuran nggak tau tempat. Pernah Papa ngajarin kamu kayak gitu? Jawab!"
Gue menggeleng sambil menahan isak tangis, "Enggak Pa. Maaf... maafin Khanza" jawab gue lirih.
"Papa udah pusing sama kelakuan kamu. Nggak cuma sekali dua kali kamu buat Papa malu"
Iya sih, gue emang bandel. Waktu sekolah dulu aja gue jadi langganan di panggil guru BK, masalah bolos lah, berantem sama adik kelas lah, ngerjain guru lah, pokoknya paket komplit deh. Heran, bisa-bisanya gue jadi dokter sekarang.
"Papa udah nyerah sama kelakuan kamu. Besok, Papa nikahin kamu sama anak temen Papa!"
Gue berontak dong. Enak aja, emang gue hidup di jaman Siti Nurbaya? Apalagi yang mau dinikahin ke gue itu anak Mami banget. Pangkat boleh kolonel, tapi kalau sama kecoa terbang aja ngacir, gimana gue bisa mempercayakan masa depan anak-anak gue?
Oke, gue emang bandel, tapi nggak gini juga caranya. Gue masih pengen bebas nikmatin hidup, kalaupun nikah ya sama pilihan gue sendiri. Akhirnya setelah melalui perjalanan panjang tawar menawar dan sedikit adegan sinetron ngancem bunuh diri, bokap gue nyerah. Mana mau dia kehilangan anak semata wayangnya. Tapi bukan berarti gue bebas lepas gitu aja, hukuman gue cuma diperingan. Yaitu, dikirim sebagai dokter relawan ke daerah perbatasan yang bahkan di peta pun tidak tampak. Perbatasan Indonesia-Timor Leste. Untung bukan Papua, pake koteka kemana-mana ntar gue.
Atambua, ibu kota kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur. Kota ini adalah kota terbesar kedua di Pulau Timor. Penduduknya multi etnis dari suku Timor, Rote, Sabu, Flores dan sebagian kecil Tionghoa. Heran, kenapa etnis Tionghoa tuh bisa ditemukan di titik paling tak terlihat sekalipun di muka bumi? Jangan-jangan di kutub utara sana juga ada etnis Tionghoa.
Atambua berasal dari kata 'ata' yang artinya hamba dan 'buan' yang artinya suanggi. Konon ceritanya daerah ini dipergunakan oleh para raja sebagai tempat pembuangan para suanggi yang mengganggu masyarakat. Sejenis Nusa Kambangan dong? Eh, apa? Oke Khanza, be classy. Hanya karena mereka keturunan tukang buat onar bukan berarti mereka orang jahat kan? Let's be positive. Pikirannya aja yang positif ya Khanza, jangan tespeknya.
Dari Jakarta gue terbang ke Kupang ditemani mbak Regina Prameswari, atau yang gue panggil mbak Egi. Mbak Egi ini anggota keamanan khusus wanita yang ditugaskan sama bokap gue buat jadi bodyguard yang ngintilin gue kemana-mana. Mengingat posisi bokap gue di pemerintahan sangat riskan terhadap ancaman keamanan, makanya pemerintah ngasih perlakuan khusus untuk menjamin keselamatan Bapak Mayor beserta keluarganya. Gue sebenernya ogah banget diintilin kemana-mana sama orang bawa pistol. Tapi bokap gue yang maksa, dia nggak mau ambil resiko lagi.
Waktu gue umur satu tahun, bokap gue jadi komandan pasukan keamanan di Ambon. Karena ketidakstabilan pemerintahan, sempat terjadi pemberontakan masyarakat dan penembakan brutal yang dilakukan oleh oknum pengacau negara. Markas TNI dibakar, penghuninya di lempari batu dan botol kaca. Padahal di markas isinya hanya anak-anak dan para istri yang selalu setia menemani suaminya bertugas. Tega gitu ya mereka. Beberapa tentara yang diberi amanah untuk mengamankan markas kewalahan setelah api menjalar kemana-mana.
Nyokap gue di kawal beberapa tentara, membawa gue yang masih bayi menyelamatkan diri. Dia nggak sempet bawa apa-apa. Hanya selimut tebal yang dibalutkan ke seluruh tubuh agar gue nggak kedinginan. Tapi naas, di tengah jalan rombongan gue di serang dengan tembakan bertubi-tubi. Menewaskan beberapa orang dirombongan termasuk nyokap. Gue diselamatkan oleh mantan sopir pribadi bokap gue dan dibawa lari sembunyi di dalam hutan selama tiga hari sebelum akhirnya situasi mereda dan kita ditemukan.
Sejak saat itu bokap gue selalu overprotektif. Kemana-mana selalu ada bawahannya yang jagain gue. Tapi saking nakalnya gue dulu, banyak yang nggak tahan dan mengundurkan diri jadi bodyguard gue. Cuma mbak Egi ini yang bertahan sampai sekarang. Pernah gue kerjain berkali-kali biar nyerah. Tapi bukannya dia yang nyerah, tapi gue yang nyerah. Susah emang nakhlukin macan betina ini.
Dari Bandara El Tari di Kupang, kita naik pesawat baling-baling Wings Air ke Bandara AA Bere Tallo, Atambua. Sebelum dijemput pasukan khusus menuju barak tentara di perbatasan, gue sama mbak Egi nginep di hotel Matahari, salah satu hotel paling terkenal di kota kecil ini. Ya meskipun kualitasnya masih di bawah hotel bintang tiga tapi worth it lah kalau cuma buat bobok anget doang.
Namanya juga Khanza. Nggak bisa diem kalau nggak ngerjain mbak Egi. Malem itu gue kabur dari kamar hotel waktu mbak Egi lagi mandi. Handphone gue matiin biar dia nggak bisa ngelacak. Setelah itu gue pergi melanglang buana, pengen tau tempat ajib-ajib ala Nusa Tenggara, kira-kira beda jauh nggak ya sama yang di Jakarta. Mumpung gue masih bisa haha hihi, coba kalau udah sampai di perbatasan nanti, mau haha hihi sama siapa? Buaya?