Khanza
"Mas Tristan?"
"Khanza?"
Kita saling menatap nggak percaya.
"Kok lo di sini?" tanya gue ke cowok yang hobinya nyaingin tiang pager ini.
"Gue kan emang penempatan kerjanya disini. Lha lo sendiri ngapain di sini?"
"Gue nunggu dijemput ke barak"
"Barak? Jadi lo dokter relawan yang bakalan gantiin dokter Irawan?"
"Iya. Kok lo tau?"
"Lha gue yang suruh jemput lo"
"Hah? Berarti lo juga tinggal di barak dong"
"Ya iyalah"
Gue memutar bola mata. Ya Allah, kenapa cobaan Khanza nggak berhenti-henti sih?
"Ternyata dunia sempit banget ya. Gue ketemu lo lagi di sini"
"Bodo" jawab gue ketus, "Awas lo kalau bilang-bilang kenal sama gue. Batang lo bakalan gue operasi terus gue sambung pake batang kambing"
"Ewh, galak banget sih neng. Lagi PMS ya"
"Iya. Makanya nggak usah bawel.
Gue melangkah naik ke dalam mobil jeep yang terparkir di depan hotel sebelum berteriak, "Mbak Egi, buruan!" bodo banget kalau semua orang natap gue aneh.
"Loh kamu?" Mas Tristan melirik mbak Egi yang baru aja naik ke kursi penumpang. "Kamu yang semalem kan?" Dia membalikkan badan, jari telunjuknya menunjuk perempuan yang kini duduk di samping gue.
"Mbak Egi kenal sama orang ini?"
"Enggak" seperti biasanya, nadanya datar. "Cuma Mbak tolongin waktu dia dikeroyok preman. Ternyata tentara."
"Ck, malu lah pake seragam kebesaran, dikeroyok aja masih dibantuin cewek." Ledek gue ke lelaki yang sekarang mulai menyalakan gas.
"Siapa bilang. Gue kan cuma memberikan kesempatan. Ladies first"
"Halah bacot"
Dan sepanjang perjalanan dihabiskan dengan mulut Mas Tristan yang nggak bisa berhenti ngoceh. Dia coba mancing-mancing informasi tentang Mbak Egi, tapi Mbak Eginya diem aja nggak nanggepin. Ditanggepin paling juga cuma seperlunya. Kapok deh lo. Mbak Egi di lawan. Jurus tepe-tepe lo nggak bakalan mempan buat Mbak Egi.
"Ini masih lama nggak sih?" tanya gue.
"Ya lumayan. Lo tidur aja deh biar nggak kebanyakan protes"
"Mana bisa tidur. Dari tadi goyang-goyang terus. Ini mobil apa roaller coaster?"
"Ya elah, namanya juga gunung. Ya kayak gini medannya. Yang mau kita tuju tuh daerah perbatasan, bukan ibukota. Masih mending ini nggak macet, eh.. eh.. kok ngadat sih. Tuh kan, elo sih nggak bisa diem. Jadi macet beneran kan."
"Kok gue yang disalahin. Kan elo yang nggak becus bawa mobil."
"Ya udah gue cek dulu mobilnya."
Tristan melepas seragamnya, memperlihatkan tubuh kekarnya yang hanya tertutup oleh kaos putih tanpa lengan. Tangannya mulai beraksi mengotak-atik bagian mesin mobil. Kalau cewek kebanyakan, pasti bakalan jejeritan lihat pemandangan kayak gini. Tapi nggak buat gue, apalagi mbak Egi. Entah, lelaki kayak apa yang bakalan bisa meluluhkan macan betina ini.
"Masih lama nggak?" teriak gue sambil kipas-kipas di bawah pohon.
"Bentar. Ini apanya ya yang salah?"