Ia belajar dari pengalaman pribadinya bahwa sistem pendidikan di masa kini harus dibuang ke tempat sampah. Rais merayakan ulangtahunnya yang ke-21 beberapa saat setelah ia meraih gelar Ph.D. Banyak hal yang dipelajarinya dari universitas, hanya saja baginya itu tidak lebih dari keping-keping butiran debu jika dibandingkan dengan apa yang didapatnya di luar kampus.
Rais sering berkeliling di malam-malam yang dingin. Diamatinya kehidupan masyarakat, di negara yang disebut orang sebagai adidaya. Pada kenyataannya banyak orang yang hidup di bawah garis kemiskinan. Mereka yang hidup dengan menggunakan mantel di setiap malam hari, tidur beratapkan langit, dan harus menyalakan api dengan membakar sampah.
Ia menjadi seorang insinyur jalanan, memperbaiki alat-alat pemanas dari keluarga-keluarga gelandangan, maupun membuat alat-alat rumah tangga sederhana dengan kemampuannya. Ia kagum akan keteguhan orang-orang itu hidup dari hari ke hari.
Rais punya seseorang yang disebutnya “teman”. Orang ini adalah gelandangan yang tidak pernah terjamah pemerintah kota Boston. Setiap kali Rais menemuinya, keadaan orang yang menyebut dirinya “John” ini tetap sama. Ia gelandangan yang tubuhnya beraroma tidak sedap, entah kapan terakhir kali ia mandi. Untuk makan pun hanya mengandalkan belas kasihan orang. John selalu berkata kepada Rais bahwa ia menunggu suatu saat ketika “home” memanggilnya.
Saat Rais bertanya di mana “home” yang dimaksud, John menunjuk ke arah langit.
Pada akhirnya, dari John, ia belajar bahwa ada sesuatu yang bisa menggerakkan umat manusia jauh lebih kuat daripada kekuatan kediktatoran ataupun pemerintahan tangan besi.
Sesuatu ini bisa membuat seseorang percaya untuk melakukan sesuatu tanpa diminta, bahkan mengorbankan miliknya yang paling ia cintai.
Semuanya dilakukan dengan sukarela, karena hal tersebut.
Ia adalah keyakinan.
Faith...
Ketika tiba saatnya nanti, Rais sangat ingin mempelajari bagaimana milyaran manusia bisa digerakkan oleh ajaran yang dibawa oleh orang-orang yang mereka sebut dengan “Utusan”. Padahal mereka hidup belasan bahkan puluhan abad sejak utusan yang menjadi panutan mereka menghembuskan napasnya yang terakhir.
Ini sangat menarik baginya.
Orang yang disebut “Utusan” pasti memiliki karisma khusus. Tidak mungkin milyaran orang mau bergerak memenuhi arahan seseorang, tanpa seseorang itu memiliki suatu hal yang menjadi daya tarik. Rais bertekad suatu hari ia akan menemukannya. Ia yakin hal seperti ini tidak akan ditemuinya di bangku pendidikan formal.
Karenanya, Rais tidak lagi peduli kepada derajat pendidikan. Ia telah meraih gelar yang tertinggi. Tidak ada lagi tantangan di dunia akademik baginya.
Saat ini ia hanya duduk bersandar di kursinya, memandang ke luar jendela, dan menikmati senja di hari-hari terakhirnya di Boston. Sebelum ia meninggalkan kota ini, mungkin untuk selamanya.