Rais tidak telalu menyukai pesta kelulusan dirinya yang dibuat keluarga Hoetomo. Ia mencoba, tapi tetap tidak bisa. Tidak pernah disukainya pesta-pesta semacam itu. Ayah dan Ibunya mengundang semua orang yang seharusnya menjadi kebahagiaan bagi Rais. Mereka para keluarga Muslim dan juga Indonesia-Amerika yang dikenal keluarga Hoetomo.
Selama bertahun-tahun lamanya Ibunya telah mengenalkan Rais kepada sejumlah anak, terutama anak perempuan. Hanya sebagian di antara mereka yang Muslim, karena orangtuanya selalu mengajari Rais untuk tidak menjadi eksklusif. Terkadang Rais bermain ke rumah mereka, terkadang sebaliknya mereka yang mengunjungi Rais.
Semula terasa aneh berkunjung ke rumah orang lain, namun lama kelamaan Rais menjadi terbiasa. Dari sini Rais belajar mengeksplorasi kehidupan pertetanggaan mereka. Sesekali mereka bertanya apakah diizinkan bermain ke rumah Rais, di mana rumah itu sangatlah mewah meskipun Ayah Rais berusaha untuk membuatnya “sesederhana mungkin”.
Ayah dan Ibu Rais sangat menyambut hangat anak-anak yang datang. Bagi mereka ini adalah hal yang bagus saat Rais mulai bersosialisasi. Mereka boleh bermain apa pun selama berada dalam pengawasan.
Maka saat ini, saat keluarganya mengadakan sebuah pesta kebun untuk merayakan kelulusannya di rumah mereka yang menyerupai istana, Rais sudah mulai terbuasa. Pada akhirnya, Rais mendapati bahwa dirinya harus bersyukur akan adanya pesta itu. Ia tidak terlalu percaya takdir, tapi kali ini harus.
Karena itu adalah saat pertama ia bertemu Malikha.
***
Malikha Russel memiliki rambut cokelat yang panjang sempurna. Ia elegan, ramah, dan berpenampilan menarik. Tinggi badannya hampir menyamai Rais. Malikha mengenakan blus dan blazer berwarna terang, menjadikan auranya tampak semakin sempurna.
Diulurkannya tangan kanannya untuk menyalami Rais.
“Miss Russel,” Rais menyambut uluran tangan Malikha.
Malikha terdiam untuk sesaat.
“Tolong panggil Malikha saja,” jawabnya.
“Rais,”
“Dan bagaimana kau tahu namaku?”
“Ayolah, hanya ada sedikit keluarga Muslim di sekitar sini, aku mengetahui nama setiap dari mereka,”
“Tentu, kau adalah jenius terkenal di sini,”
“Jangan mempercayai semua yang kau dengar, Malikha.”
“Tapi itu benar, kan?”
“Jika kau berkata demikian,”
“Oke, mau ke Starbucks?”
“Aku yang traktir,”
“Kenapa?”
“Aku yang merayakan hari ini,”
“Kau benar-benar mau pergi ke Starbucks?”
“Tentu saja, kenapa memangnya?”
“Aku tadi hanya basa-basi, sambil tidak yakin apakah kutu buku sepertimu mau pergi ke Starbucks,”
“Aku bukan kutu buku,”
“Oke,”
“Ayo pergi.”
Mereka beranjak meninggalkan pesta yang masih berlangsung.
***
“Jadi, apa yang kaukerjakan sekarang?” tanya Rais saat mereka memasuki Starbucks.
“Aku seorang paralegal. Baru saja kuselesaikan sekolah hukum di Harvard,”
“Baiklah, mau duduk?”
“Terima kasih,” jawab Malikha usai menyadari bahwa mereka sudah berdiri untuk beberapa saat setelah masuk.
“Vanilla sky,” kata Rais.
“Maaf?”
Rais menunjuk langit di luar jendela.
“Oh, indah sekali,” jawab Malikha.
“Sangat, Malikha,”