Rais tidak melihat World Trade Center sebagai tempat yang istimewa. Ia bahkan tidak mengerti kenapa orang mau bekerja di sini. Ini hanya gedung pencakar langit, seperti gedung-gedung pencakar langit lainnya. Rais hanya pernah membaca tentang World Trade Center dari artikel, dan itu didapatnya dari internet.
Ia tahu bahwa orangtuanya memiliki saham dalam jumlah besar pada mayoritas perusahaan di dunia. Dan sebagian perusahaan itu memiliki kantor di World Trade Center.
Ayahnya ingin Rais sesekali mengunjungi kantor mereka. Kantor-kantor perusahaan di bawah bendera Hoetomo Group. Termasuk yang berada di World Trade Center.
Rais tidak mengenal New York City dengan baik. Tapi ia merasa sesekali harus memenuhi keinginan ayahnya.
Maka pagi ini ia memasuki salah satu bangunan menara kembar tersebut. Baginya ini seperti sebuah istana, tapi dengan kubik-kubik. Diliriknya arlojinya. Ini masih terlalu dini untuk memulai hari.
Baru ada sedikit orang di sini, dan sebagian di antara mereka mengenakan jas dan dasi.
“Selamat pagi, Mr. Hoetomo,” sapa seorang petugas kebersihan.
Rais menatap si petugas, mencoba mengingat apakah ia mengenal orang ini.
Si petugas tersenyum, lalu pergi.
Rais memasuki lift dan memandangi pemandangan New York City. Ia tidak pernah berpikir untuk pergi ke puncak World Trade Center, dan sekarang ia sedang melakukannya.
Ia terkesan.
Melihat ke luar jendela, Rais teringat akan Si Orang Krypton. Apakah Orang Krypton bisa terbang setinggi ini, tanyanya pada diri sendiri.
Atau apakah dirinya akan bisa terbang dan setinggi ini?
“Sangat senang bertemu dengan Anda, Sir. Akhirnya saya bisa bertemu dengan pemegang saham utama kami,” sambut seseorang yang memperkenalkan dirinya sebagai sekretaris, begitu Rais mencapai lantai puncak.
“Oh, kehormatan bagi saya,” jawab Rais.
“Lebih tepatnya bagi saya,” si sekretaris tersenyum.
“Baiklah,” Rais balas tersenyum.
Ia menemukan plang bertuliskan “HOETOMO, Inc.” dan memasuki ruangan. Mereka berjalan melewati sejumlah karyawan. Beberapa wajah nampak familiar bagi Rais, sebagian lagi baru dilihatnya hari ini.
Rais sedikit mengembangkan senyumnya untuk kesopanan.
Seseorang mendatangi mereka, dengan antusias dan penuh semangat, memperkenalkan dirinya sebagai direktur.
“Rais, kawanku, lihat diri Anda sekarang! Sangat dewasa dan tentu merupakan kebahagiaan serta kebanggaan bagi keluarga Hoetomo!” sang direktur menepuk hangat bahu Rais.
“Seingatku, terakhir kali kita bertemu adalah saat thanksgiving tiga tahun lalu!” lanjut sang direktur, masih dengan semangatnya.
Rais lalu tersenyum, “Ahh yaa, bagaimana saya bisa lupa akan apple chowder terbaik yang pernah saya rasakan, yang dibuat oleh putri Anda!” jawabnya.
Sang Direktur tertawa lepas, “Ya! Ya! Saya sangat bangga dengan keahlian memasaknya! Jika nanti ada kesempatan, mainlah ke rumah kami lagi. Ia akan dengan senang hati memasak untuk Anda. Ia sudah menikah sekarang, dan saya ingin menunjukkan cucu perempuan saya pada Anda!”
Mereka melanjutkan sedikit obrolan, lalu Rais beranjak memeriksa divisi-divisi lain.
Rais juga disuguhi coklat Godiva terlezat yang pernah dinikmatinya oleh sang sekretaris. Ia juga mendapat beberapa undangan dari sejumlah eksekutif, pelukan yang dapat meremukkan tulang dari orang-orang yang telah bekerja untuk ayahnya selama berdekade-dekade, dan juga ajakan minum-minum nanti malam oleh sejumlah orang muda.
Hari itu selesai dengan cepat. Setelah memeriksa arlojinya, Rais merasa bahwa kunjungannya sudah cukup. Ia akan mulai bekerja di kantor ini cepat atau lambat. Sang direktur menawari mobil dan supir untuk mengantarnya, namun Rais menolak. Ia pergi ditemani sang sekretaris. Hingga lantai paling bawah, sang sekretaris mengobrol dengan Rais.
Rais tidak terlalu ingat namanya, namun sekretaris ini sangat ramah. Tetapi tetaplah Rais terlihat bosan dengan obrolan mereka.
“Kami tidak sabar untuk menanti kunjungan Anda berikutnya,” kata sang sekretaris.
“Terima kasih...” Rais mengintip ke arah kartu pengenal sang sekretaris, “Ally, saya harap kita akan bekerja sama di waktu dekat,”
Ally tersenyum.
Rais pun pergi. Ia merasa sangat lega. Sebenarnya Rais merasa nyaman berada di sana. Untuk setiap detiknya. Setidaknya ia mendapat sambutan yang hangat dan lingkungan yang menyenangkan. Ia tahu bahwa itu adalah kemewahan yang jarang didapat oleh orang lain.
Ia berjalan, dan berjalan, melewati orang-orang yang berlari di jam sibuk.
Hari itu sungguh indah.
Lalu...