Beberapa hari telah berlalu.
Pada sebuah pagi yang terik, Rais menghadiri pemakaman puluhan orang yang menjadi korban 11 September. Mereka diantar dan dimakamkan dengan diiringi tangisan dari keluarganya.
Rais ingin ikut menangis, ia sangat ingin. Bagaimanapun di antara mereka ada pegawai-pegawainya. Ia ingin menunjukkan simpati, tapi sekeras apapun ia berusaha, air matanya tak kunjung turun.
Kerumunan orang saling mengucapkan bela sungkawa, lalu disusul dengan ucapan-ucapan selamat tinggal. Rais berdiri di samping ayahnya sampai seluruh upacara pemakaman selesai. Perlahan langit tertutupi awan. Tidak lama kemudian cuaca cerah berubah menjadi rintik-rintik gerimis.
Pandji Hoetomo, ayah Rais, menepuk pundak anaknya.
“Ini akan menjadi masa sulit. Aku harap kau kuat.”
“Maksud Ayah?”
“Kita mengalami kerugian cukup besar, tapi asuransi akan menanggungnya. Tidak akan ada masalah finansial. Tapi ada sebuah kerugian besar yang lebih dari materi.”
Rais teringat ucapan petugas yang duduk di sampingnya usai kejadian menara kembar.
“Maksud Ayah, tentang siapa kita?”
Pandji mengangguk.
“Kau harus tahu bahwa saat ini kita harus saling mendukung. Kita harus jalankan bisnis kita, sambil memulihkan nama baik.”