Hari ini Rais telah melewati semuanya. Di usianya yang keduapuluh dua, ia memperhatikan apa yang terjadi dari waktu ke waktu sejak kejadian yang memilukan di New York City. Dari sana ia berpikir bahwa diriya harus bisa menjadi pembela masyarakat sipil. Membela mereka dari teror-teror besar maupun kecil. Juga menghancurkan para teroris yang menebar ketakutan di mana-mana.
Maka ia harus mempelajari ilmu bela diri. Semua itu sebagai awalan dari rencana-rencana besarnya. Satu tahun sudah dihabiskannya waktu mempelajari martial arts yang sangat dinikmatinya.
Ia menghadapi satu demi satu lawan tandingnya. Memukul, menendang, menghindar, mengelabui, dan merobohkan. Hari-hari indah yang sangat ia nikmati. Selain itu, apa yang ia lakukan ini juga cukup untuk membuatnya teralih dari tragedi besar umat manusia, di mana ia sendiri menjadi saksi hidupnya.
Selama setahun Rais tidak pernah menghubungi keluarganya. Ia merasa perlu untuk mengunjungi orangtuanya, melihat keadaan mereka, dan apa perkembangan yang terjadi di perusahaan mereka. Rais menaiki taksi untuk pulang ke rumah Ayahnya.
Ia membawa sendiri dengan kedua tangannya semua peralatan serta perlengkapan yang dibawanya, lalu ditaruhnya di depan rumahnya. Pandji Hoetomo menyambut putranya di gerbang.
“Kau tidak mengabari akan pulang,” katanya. “Aku bisa menyuruh supir untuk menjemputmu.” lanjutnya lagi.
“Jangan Ayah, aku tidak ingin merepotkan. Apalagi jalanan saat ini macet. Penjualan mobil yang meningkat ternyata menimbulkan efek negatif.”
Mereka berjalan beriringan memasuki rumah. Semua penghargaan dan barang-barang antik khas Timur Tengah ada di sana. Bahkan miniatur Ka’bah, Al Aqsa, Dome of The Rock, serta piramida Mesir menghiasi lemari milik Pandji Hoetomo.
“Bagaimana bisnismu, Ayah?” tanya Rais.
“Berjalan cukup bagus.”
Mereka duduk di ruang tengah. Rais memandang sekelilingnya. Rumah yang belum banyak berubah, pikirnya.
Beberapa saat kemudian, gerbang terbuka dan supir mereka masuk mengendarai Mercedes. Maryam Hoetomo berada di kursi belakang.
“Kau berencana menetap di sini dan memulai karir baru di Boston?” tanya Pandji. “Atau kau bersedia membantuku di perusahaan?”
“Aku belum memutuskan,”
“Kau tidak menyukai tempat ini?”
“Aku suka, tapi rasanya ada yang harus kulakukan.”
Maryam Hoetomo masuk ke rumah. Rais berdiri menyambut lalu mencium pipinya. Ibunya itu mengatakan bahwa ia baru saja kembali dari luar kota. Saat ini mereka harus berkonsentrasi penuh pada bisnisnya dengan mempertimbangkan kondisi yang sedang sulit. Awal Oktober yang biasanya dihiasi musim gugur kini semakin terasa temaram.
Rais pergi dengan Pandji beberapa saat setelahnya. Mereka mengendarai Mercedes yang sama dengan yang dipakai Maryam, meninggalkan gerbang rumah Hoetomo, menuju kantor mereka.
Sesampai di kantor, Rais memperhatikan bangunan yang sama dengan yang pernah dilihatnya waktu kecil. Tidak terlalu banyak yang berubah. Ia tetap bersih, mewah, dan sangat mengagumkan. Diakuinya bahwa Ayahnya telah berjuang keras menjaga tempat ini tetap seperti sedia kala. Semua keadaan yang menjadi ciri khas Hoetomo Group tetap dipertahankan.
Meskipun ia tahu keadaan sedang sulit.
“Aku sudah menyiapkan ruangan untukmu,”
“Ruangan biasa saja, Ayah,”
“Rais, kau adalah termasuk salah satu pemilik,” kata Pandji.
“Tapi Ayah yang membangun perusahaan ini. Bukan aku. Dan semua yang ada ini adalah kerja keras Ayah. Aku hanya meneruskan. Layakkah aku langsung bertindak sebagai raja?”
“Kau sangat punya kemampuan untuk itu,”
“Aku tidak meragukannya. Aku sama hebatnya sepertimu,”
“Lalu apa yang menghalangimu?”
“Orang-orangmu, apakah mereka akan menyambutku?”
“Kita membangun perusahaan ini dari generasi pertama, mereka akan sangat menghormatimu,”
“Selama itu jelas. Tinggal berikan aku waktu, akan kutunjukkan siapa raja di sini,”
Pandji tersenyum.
“Ini baru anakku yang kukenal,”
Rais mengangguk.
“Ah ya, baru kuingat, beberapa kali temanmu mencarimu.”
“Temanku?”
“Ya, anak perempuan Russel,”
“Malikha,”
“Benar, itu memang namanya. Saat kau bertualang, beberapa kali ia mencarimu,”
“Untuk apa ya?”
“Mungkin ia rindu padamu,”
“Bisa saja. Apakah ia meninggalkan kontak?”
Pandji memberikan kontak Malikha.
“Sebelum kita mulai, percayalah, Rais. Hanya kita yang mampu memperbaiki keadaan ini,”
“Ayah selalu percaya padaku,”
“Tidak pernah tidak,” Pandji menepuk lengan putra tunggalnya sambil tersenyum dan berlalu.
Rais menelusuri lorong dan masuk ke ruang kerjanya. Ini merupakan ruangan yang belum pernah dimasukinya seumur hidup. Sangat berbeda dengan ruangannya saat menempuh pendidikan doktoral. Jauh lebih luas. Tidak ada tumpukan buku-buku sains dan gambar-gambar simulasi. Yang ada adalah ruangan luas dengan meja kerja yang bersih tertata rapi. Beberapa lemari berisi dokumen yang menurutnya adalah dokumen-dokumen kontrak.
Sejumlah foto Rais saat SMA dan kuliah terdapat di sebuah lemari, terpajang dengan pigura. Begitupun di salah satu rak terdapat sebuah foto keluarga Hoetomo. Melihat Rais berdiri lebih tinggi di samping ayahnya, maka bisa disimpulkan itu adalah foto terakhir. Pandji mengenakan jas dan dasi di foto itu, didampingi Maryam yang mengenakan pakaian kasual.
Rais tersenyum, menduduki kursinya, dan membuka-buka dokumen di atas mejanya. Beberapa adalah laporan tahunan, beberapa lagi merupakan foto-foto perusahaan dan anak perusahaan mereka. Bahkan ada juga foto-foto produk mereka.
Ia mendengar pintu diketuk. Dipersilakannya orang yang mengetuk untuk masuk. Segera dibereskannya dokumen-dokumen yang dibacanya dan dimasukkan ke dalam kabinet. Dikenakannya jas miliknya untuk menyambut sekretaris yang datang mengabarinya bahwa ada seseorang yang ingin menemuinya.
Rais meninggalkan ruangannya dan keluar untuk menemui orang yang dimaksud. Ternyata seorang perempuan berusia sekitar dua puluh lima dengan wajah yang sangat cantik dan menarik, duduk di kursi tamu dan segera berdiri begitu ia keluar. Perempuan ini menghampirnya dengan santai dan mengulurkan tangannya.
“Apa kabar?” sapa perempuan tersebut.
Ia adalah Malikha.
Namun Malikha yang sangat berbeda dengan yang pernah ditemuinya. Ia nampak jauh lebih dewasa, percaya diri, dan berpendirian. Malikha mengenakan setelan blus dipadu dengan rok hitam yang membuatnya semakin menarik. Ia sangat-sangat menarik.
“Hai, baik, terima kasih,” jawab Rais. “Lama sekali sejak terakhir kali kita bertemu,” lanjutnya.
“Terlihat jelas, kau sekarang juga semakin bertambah tinggi,”
Rais memperhatikan badannya. Sebenarnya ia tidak pernah memperhatikan penambahan tinggi badan dirinya.
“Aku tidak memperhatikan.”
“Kau lebih suka hal-hal hebat.”
“Dan kau masih mengingatku dengan baik.”
“Kau masih berusaha untuk menguasai seluruh dunia?”
Rais mengangkat bahu.
“Kau tahu bahwa semua hal yang kuinginkan tidak pernah kulepas. Tapi keadaan berbeda saat ini, meskipun itu tidak mengubahku. Kudengar kau sekarang telah menjadi ilmuwan top, memenangkan sejumlah penghargaan yang mendapat sorotan publik.”
Giliran Malikha mengangkat bahu.
“Tempat ini sangat bagus.” kata Malikha.