Rais telah memimpin perusahaannya selama beberapa bulan. Strategi-strategi korporasi telah dikuasainya, bahkan lebih dari orang-orang yang berkecimpung di perusahaan multinasional selama bertahun-tahun. Kejeniusannya merumuskan strategi telah membuat Hoetomo, Inc. kembali menguasai pasar. Namun Rais merasa misi utamanya bukan itu. beberapa hari sejak perusahaannya kembali memuncaki pasar modal, Rais menemui ayahnya.
Ia mengatakan kepada ayahnya bahwa dirinya kembali meminta waktu untuk melakukan perjalanan. Rais mengatakan akan berkeliling Amerika, bahkan dunia, untuk mempelajari banyak hal. Motivasi sebenarnya adalah ia ingin melihat sejauh mana akibat yang ditimbulkan oleh 9/11 terhadap umat Muslim di Amerika. Oleh karena itu, perusahaannya sementara kembali akan dipegang oleh sang ayah, walaupun ayahnya terlihat berat melepas dirinya.
Bagaimanapun Rais telah menunjukkan bahwa dirinya kader yang tepat untuk menjalankan Hoetomo, Inc.
Rais pun memulai perjalanannya dari California. Ia belum pernah mengunjungi Sacramento seumur hidupnya. Kali ini ia merasa harus, karena ada hal yang baginya harus diikutinya. Selain itu, ia telah mendengar bagaimana tolerannya warga Sacramento terhadap warga negara dari latar belakang mana pun.
Di Sacramento, ia menemukan pemandangan yang menyegarkan berupa air laut yang biru dan bersih, terlihat sangat dalam. Yang membuatnya tertarik adalah kabar yang ia terima bahwa seorang pria bernama Abdul Aziz sedang mencalonkan diri menjadi anggota Kongres.
Dalam kunjungannya ke Sacramento, Rais ingin melihat reaksi masyarakat yang ia dengar toleran ini terhadap pencalonan seorang Muslim keturunan Arab untuk sebuah kursi di Kongres.
Terutama sejak 9/11.
Rais berkenalan dengan Abdul Aziz dan menawarkan diri untuk ikut membantu kampanye Abdul Aziz dari satu tempat ke tempat lainnya. Awalnya Rais terkejut karena Abdul Aziz sama sekali bukan seperti yang ia duga. Dari penampilannya, Abdul Aziz sama sekali tidak seperti orang Arab. Ia berambut coklat, berkulit putih terang, dan bermata hijau.
Pada awal mereka berkampanye dari orang ke orang, tidak ada seorang pun yang menanggapi. Tapi pada akhirnya ada sepasang pejalan kaki yang menanggapi mereka.
“Hai, nama saya Abdul Aziz. Saya sedang mencalonkan diri untuk menjadi anggota kongres di distrik Anda.” Abdul Aziz menyodorkan brosur kampanyenya.
Kedua orang tersebut, sepertinya sepasang suami istri, terdiam untuk beberapa saat. Mereka lalu bergumam, seolah Rais dan Abdul Aziz tidak ada di sana.
“Tuan dan Nyonya, maafkan kelancangan saya. Tapi jika Anda memiliki sesuatu untuk dikatakan, mohon Anda bersedia menyampaikannya. Saya akan sangat berterima kasih untuk itu.” kata Abdul Aziz.
“Abdul Aziz, hmm... dengan nama itu, kurasa tidak ada peluang bagi Anda.” Kata yang lelaki.
“Ya, kupikir juga begitu.” Kata istrinya.