Untuk kesekian kalinya, Rais mencoba bangkit dan kembali bertarung. Ia telah kembali kepada perjalanan martial arts-nya. Pelatihnya sama sekali tidak peduli tentang siapa dirinya. Ia menerjunkan Rais dalam kehidupan jalanan. Rais diharuskan bertahan hidup di masyarakat kelas bawah, yang merupakan sisi lain Amerika. Dengan demikian, Rais harus terbiasa menghadapi pertarungan jalanan.
Walaupun ia harus terbunuh.
Rais dibiarkan berjuang mempertahankan hidup di arena latihan. Setiap pertarungan yang ada adalah kepedihan. Lawannya tidak akan menaruh belas kasihan, walaupun Rais telah berada di titik nadir. Memang ini yang diinginkannya, dan untuk itu Rais membayar mahal.
Rais melatih apa pun yang bisa dilatihnya. Ditempanya dirinya dengan mengangkat beban, menarik rantai, memanjat gedung, bahkan menghajar ban traktor. Di akhir hari tentu tubuhnya hancur lebur. Ototnya lemas, punggungnya sakit, kepalanya berdenyut, dan kakinya serasa tidak bisa digerakkan. Namun semuanya kembali seperti semula di esok harinya.
Pelatihnya benar-benar tidak peduli, karena memang untuk itulah ia dibayar. Rais berlatih tidak hanya di sasana, tapi dibawanya menuju kehidupan nyata. Diperkenalkannya Rais kepada teman-temannya di industri-industri berat, bahwa Rais adalah imigran gelap asal Indonesia yang membutuhkan pekerjaan. Imigran ini akan melakukan apa pun untuk bertahan hidup, asalkan ia bisa makan.
Sejak itu keadaan menjadi semakin buruk. Rais diperlakukan seperti seorang tahanan. Ada seorang mandornya yang berotot dan memerintahkannya untuk mengangkut beton ratusan kilogram setiap hari. Rais tidak menyangka akan mendapat perlakuan demikian.
“Kerjakan dan jangan mengeluh!” kata si mandor.
Ketika Rais tidak dapat memenuhi target, ia mendapat tendangan dan pukulan di wajah dan ulu hatinya. Rais terkapar, namun sang mandor justru menendang perutnya berkali-kali. Rais hanya bisa memegangi dan melindungi dirinya di tengah-tengah rasa sakit.
Hari berikutnya, segerombolan pekerja senior mengeroyoknya. Mereka tidak memiliki alasan melakukan itu pada Rais. Hanya saja beban hidup yang begitu tinggi menyebabkan mereka memerlukan pelampiasan. Segala macam alat digunakan. Tang, obeng, tempat sampah, bahkan tangan kosong, semua mendarat di tubuh Rais.
Rais hanya bertahan, dan berharap semua itu segera berlalu. Teriakan-teriakan “Muslim iblis” mengiringi penyiksaannya.
Setiap semua itu berlalu, Rais kemudian pergi membersihkan luka-lukanya. Air kotor membasahi tubuhnya, walaupun demikian itu terasa begitu menyejukkan. Rais tahu bahwa ia yang memilih jalan ini. Ia juga memahami konsekuensi yang dipilihnya.