“Kebencian anti-Islam merebak di mana-mana, dan terus meningkat seiring berjalannya waktu. Orang-orang yang menimbulkan ini kebanyakan tidak pernah membaca tentang Islam yang sebenarnya. Bahkan mereka tidak pernah bertemu dengan Muslim. Sebagian di antara mereka memperlakukan Muslim seperti binatang.” Kata Abdul Aziz.
“Tidakkah kita memiliki hak jawab?” timpal Rais.
“Menurutmu kita belum menggunakannya? Organisasi-organisasi Islam sudah menyuarakan penentangan mereka akan terorisme. Tapi media jarang memuat suara mereka.”
“Berarti kita harus lebih dekat dengan media.”
“Tepat sekali, kita tidak boleh menganggap media sebagai musuh. Kita jauhi sifat eksklusif.”
“Melalui pembangunan identitas kita sebagai Muslim?”
“11 September adalah panggilan untuk bangun. Adalah pilihan bagi kita untuk bangun dan memperjuangkan identitas Islam, atau tenggelam bersama fitnah yang menuju ke arah kita. Islam telah digunakan oleh sejumlah pihak menjadi sebuah alat politik. Sekarang yang terpenting adalah kita harus menunjukkan kepada negara kita dan dunia, tentang perbedaan Islam sebagai alat politik, dan Islam yang dianut oleh kita yang berjumlah 1,2 milyar.”
Rais
2003
Mereka membawa Rais ke luar dari Amerika. Ke sebuah area yang tidak pernah diduganya selama ini: Afganistan. Tempat di mana perang berkecamuk. Negeri yang pernah mengalahkan sekaligus mempermalukan Uni Soviet. Ia mencapai suatu tempat di mana sejumlah orang bersenjata menyambut mereka. Rais digeledah dan diperiksa identitasnya. Orang-orang yang menyambut mereka berbicara dengan orang-orang yang membawanya. Sepertinya mereka melakukan suatu negosiasi.
Rais memperkenalkan diri dengan nama aslinya, tapi dengan identitas palsu. Ia adalah Rais Hoetomo, seorang buruh serabutan, seorang imigran gelap. Setelahnya, Rais dibawa ke sebuah ruangan.
Bagaimanapun ia bertahan untuk tidak membuka identitasnya. Terlalu berbahaya dan akan berpengaruh pada keselamatan banyak orang. Sementara ia sendiri belum tahu apa yang akan terjadi dengan dirinya.