“Sejak 11 September, Muslim menjadi lebih terbuka untuk berbicara dengan orang luar Islam.” Kata Abdul Aziz.
“Memang, berdasarkan pembicaraan kita, hal itu memang sangat dibutuhkan. Muslim harus berpemikiran terbuka. Salah satunya adalah dengan cara tidak bersikap eksklusif. Muslim harus membaur dengan masyarakat.” Jawab Rais.
“Tepat, dengan demikian maka kita akan tahu bagaimana kehidupan masyarakat dan lebih toleran. Jika Muslim berpemikiran tertutup dan tidak tumbuh sifat toleran dalam hatinya, akan mudah baginya untuk timbul benih-benih ekstremisme.”
“Masuk akal. Ekstremisme muncul karena ketidaktahuan, juga ketertutupan.”
“Muslim, terutama generasi kedua sangat rentan untuk menjadi target perekrutan organisasi Islam ekstremis. Jumlah yang menjadi rekrutan mungkin tidak banyak, hanya sekitar ratusan. Tapi dampaknya akan sangat besar. Al Qaeda dan kelompok-kelompok lain merekrut Muslim yang mempunyai catatan bersih dari kriminal agar tidak masuk radar polisi dan bisa pergi berkeliling dunia.”
Rais
2003
Esok subuhnya, Rais telah siap berangkat. Setelah mendapatkan nutrisi sarapan cukup – sarapan terbaik dalam setahun terakhir -, ia pun beranjak. Seorang penunjuk jalan memberinya pakaian dan menunjukinya jalan ke arah kendaraan menunggu. Sebuah jip yang tampaknya masih baik jalannya. Namun jelas terlihat bahwa kendaraan itu sudah ada sejak perang Soviet.
Rais menaiki jip dan mulai mengikuti jalannya kendaraan bersama dengan beberapa orang. Cahaya matahari mulai timbul saat mereka baru beberapa waktu berjalan. Orang-orang yang mendampinginya berbicara dengan bahasa yang diam-diam sebenarnya dimengerti oleh Rais. Setelah dilihatnya, tidak semua di antara mereka bertampang Arabik atau Afgan. Ada juga yang bertampang Asia.
Tidak lama, Jip berhenti.
“Kau harus melanjutkan sendiri dari sini,” kata si supir.
Rais turun, dan Jip yang ditumpanginya pergi.
Ia melihat sekeliling, sebuah pemandangan yang baru baginya. Tanah luas dilengkapi kebun-kebun. Sulit menerka bahwa ini Afganistan. Rais berusaha untuk membaur dengan alam sekitar. Rais berjalan, berjalan, dan berjalan. Pada akhirnya ia mendapati bahwa ia ada di sebuah dataran tinggi. Langit tampak putih berkabut, dari mulutnya terhembus uap air. Dipelajarinya keadaan sekitar, apakah ada yang menarik baginya.
Sebelum ia pergi tadi, ia diberi sebuah bungkusan. Dibukanya bungkusan itu. Sebuah buku. Entah buku apa, namun sepertinya sebuah buku catatan.
Matahari semakin terik menyengat, namun udara dingin masih tetap menusuk kulitnya. Semakin lama semakin dingin. Ia melihat sekumpulan warga. Maka Rais pun berlari ke arah mereka. Langkah mereka cepat-cepat. Rais harus mempercepat larinya untuk dapat mengejar mereka. Akhirnya ia mendapatkan perhatian mereka usai berteriak.
Orang-orang tersebut menoleh. Rais melambaikan tangannya. Mereka berhenti dan menunggu Rais mencapai mereka. Lalu Rais menanyakan tempat yang ditujunya.
Orang-orang tersebut langsung pergi. Rais berteriak memanggil mereka, tapi tidak ada yang hendak membantunya.
“Itu tempat terlarang.”
Rais tertegun. Akhirnya ada orang yang menjawab keingintahuannya. Terlebih lagi, orang itu berbicara bahasa Indonesia.
“Aku harus pergi ke sana.” kata Rais dalam bahasa Indonesia seadanya.
Orang tersebut menggeleng. Ia membisiki Rais, “Sebaiknya kau lupakan niatmu itu,” sambil beranjak pergi.
“Hei, tunggu!” panggil Rais.
Orang tersebut berhenti dan menoleh.
“Kenapa kau bicara Bahasa Indonesia padaku?”