Rais mulai tidur di matrasnya malam itu. Harun Bashar datang ke barak mereka dan mengatakan bahwa ia harus berbicara dengan Rais.
Rais bangkit, mengganti pakaiannya, dan mengikuti Harun. Mereka berjalan di bawah cahaya bulan purnama malam menuju hutan. Lalu mereka memasuki sebuah tempat yang tidak jajuh berbeda dengan tempat latihannya selama ini.
“Kau datang kemari untuk menegakkan keadilan bagi umat muslim.” Kata Harun.
Harun Bashar mengeluarkan buku catatan yang dititipkannya kepada Rais saat kali pertama ujiannya menemukan tempat mereka berada. Buku itu lalu dibuang Harun ke tanah.
“Buku ini tidak berarti apa pun,” kata Harun.
“Yang harus kau perhatikan adalah bagaimana kau meyakinkan dirimu, melawan semua keraguan atas jihad yang akan kita lakukan. Kau harus siap mati, semuanya demi umat, demi agama kita, demi Allah.”
Harun menyiramkan minyak dan membakar buku yang ada di tanah. Rais menyaksikannya menjadi debu dari bara api yang menyala-nyala.
“Tidak ada yang harus kau takuti, perkuatlah keyakinanmu.”
Rais mengerti apa yang harus ia lakukan. Tanpa bertanya lagi, ia menutup matanya dan membayangkan kejadian yang telah menghantuinya selama ini.
Orang-orang berteriak...
Tubuh-tubuh berjatuhan seperti halnya hujan turun dari langit...
Wajah anak-anak yang berteriak ketakutan usai ledakan besar yang membuat lubang raksasa di menara utara...
Kartu pengenal Alice yang mendarat tepat di sampingnya...
Rais mengerenyitkan dahinya.
Semuanya begitu nyata...
Harun memberikan sebuah masker kepadanya. Ia sendiri lalu mengeluarkan masker untuk dirinya sendiri.
“Untuk membalas dendam, kau harus menebar teror,” katanya. “Kau harus menunjukkan betapa kuatnya kita. Dan mereka harus menyaksikan bahwa mereka tidak bisa berbuat seenaknya.”
Harun mengangkat tangannya dan sejumlah anggota resimen keluar dari tempat yang tidak diduga Rais. Orang-orang ini belum pernah dilihatnya sebelumnya. Entah karena mereka mengenakan masker atau memang orang-orang ini sama sekali baru baginya. Walaupun demikian, Rais bisa melihat bahwa orang-orang ini bukanlah para pendatang baru.
“Kau tidak cukup hanya menjadi prajurit,” kata Harun. “Kau harus menjadi inspirasi, sebuah pemikiran, sebuah teror.”
Tiba-tiba Harun menyerang Rais. Jika bukan karena pengalamannya, Rais tentu sudah terjengkang jatuh ke belakang.
Tapi Rais dengan mudah dapat menangkal serangan Harun.