Terkait Ibnu Awwad, cukup banyak informasi yang didapatkan Rais serta hubungan tokoh ini dengan Al Qaeda. Ibnu Awwad adalah salah satu pendirinya. Yang ingin diketahui Rais adalah kaitan Ibnu Awwad dengan cikal bakal Al Qaeda.
Nama “Al Qaeda” sendiri cukup mudah diterjemahkan. Ia dapat berarti “kaidah” atau “pedoman” jika diartikan dari bahasa Arab. Pemilihan nama itu bagi Rais tidak terlalu penting.
Jadi rencana selanjutnya adalah...
Rais membuka komputernya dan mengirimkan surat elektronik kepada Malikha. Ternyata di dalam kotak masuknya sudah terdapat sebuah pesan.
Pengirimnya adalah Robin Ferguson.
“Ah, baik sekali dia.” Pikir Rais.
Dear Rais.
Aku menemukan sebuah kontak yang sepertinya memiliki ketertarikan sama denganmu. Ia adalah seorang pemilik toko buku, sehingga sangat wajar apabila dirinya memiliki ketertarikan terhadap sejarah-sejarah maupun perkumpulan rahasia. Sayangnya toko buku miliknya telah lama tutup dan aku belum dapat menemukan jejak orang tersebut.
Jika kau ada waktu, tolong hubungi aku.
Tanpa berpikir terlalu lama, Rais segera memacu kendaraannya kembali ke New York City Library. Tidak ada waktu untuk mencari taksi, walaupun Rais lebih senang melakukannya.
“Robin, bagaimana?” tanya Rais begitu mencapai tujuannya.
“Cepat juga kau sampai, dan kau memang beruntung.” Jawab Ferguson.
“Maksud Anda?”
“Ada sebuah catatan yang dibuat oleh si pemilik toko buku ini. Ternyata ia memiliki banyak kajian tentang terorisme Islam. Catatannya tidak lagi berada dalam kondisi bagus, tapi aku yakin kau bisa menggunakannya. Sekarang catatan itu tersimpan di rumahnya.”
“Lalu bagaimana aku bisa mendapatkan catatan itu?”
“Kau mungkin bisa menemui orang yang menyimpannya. Aku mengenalnya dan menghubungi orang itu sebelum kau datang tadi.”
“Hebat! Jadi, bagaimana aku bisa menemuinya?”
“Dia tinggal di Los Angeles. Kau bisa segera menemuinya kapan pun kau siap. Aku telah memberitahunya tentang dirimu.”
“Terima kasih!”
Ferguson memberi Rais nomor kontak yang dimilikinya. Rais mengucapkan terima kasih dan segera pergi malam itu juga.
Malikha menerima pesan Rais dan langsung meneleponnya. Rais meminta Malikha untuk mempelajari apa yang ditulis dirinya di surat elektronik.
Rais juga mengabarkan kepada Malikha bahwa ia akan pergi ke Los Angeles.
“Perjalanan baru?” tanya Malikha.
Ia sudah terbiasa dengan cara Rais yang spontan dalam mengeksekusi rencana.
“Kita lihat saja.” Jawab Rais.
“Kau pasti sedang mencari sesuatu yang penting.”
“Oh, penting sekali. Hanya saja sepertinya ini akan menyenangkan.”
“Kau akan menceritakannya kepadaku?”
“Tentu saja. Tunggu sampai aku pulang.”
“Orang lain akan senang berburu harta. Kau justru senang berburu catatan kuno.”
“Karena aku bukan orang lain yang kau sebutkan itu. Terlebih, catatan kuno adalah juga harta.”
Dalam perjalanannya ke Los Angeles, Rais menyempatkan diri untuk menelepon ke kantornya di New York. Sejak kembali dari Afganistan, ia telah kembali aktif di jajaran pemegang saham. Rais menghubungi sekretarisnya dan menanyakan bagaimana rapat direksi terakhir. Ia juga bertanya tentang Joseph Bart yang merupakan General Manager di sana.
“Dr. Hoetomo, mohon maaf Mr. Bart sekarang sedang melakukan konsolidasi dengan direksi. Apakah Anda ingin saya memanggil Mr. Bart?” kata sekretarisnya.
“Tidak, tidak perlu, saya menelepon lagi nanti.”
Rais memutus teleponnya.
Malikha sedang berada di kantornya, menulis memo atau sesuatu sejenis itu ketika Rais datang.
“Hai, bukankah kita baru saja bicara di telepon?” tanya Malikha.
“Ya. Apakah kau mau ikut denganku ke Los Angeles?”
“Oh, sebenarnya aku ingin. Tapi aku harus mempersiapkan sidang untuk besok.”
“Oke, tidak masalah. Akan kukabari nanti.”
Rais pun pergi.
Tidak lama kemudian, ia sudah berada dalam perjalanan ke Los Angeles dan memesan sebuah motel murah untuk tempat menginapnya.
Pada masak kanak-kanaknya, Rais selalu menyambut perjalanan dengan pesawat terbang secara riang gembira. Baginya terbang adalah pengalaman yang luar biasa, mendapati dirinya berada di atas awan dan melihat ke bawah lalu mendapati dunia yang nampak kecil. Dari situ ia sering merasa bahwa dirinya benar-benar kecil jika dilihat dari atas, walaupun arogansinya kadang masih timbul saat ia kembali menjejak tanah.
Pada pukul enam lebih tiga puluh menit, Rais telah berada di New York. Rais sudah terbiasa dengan bandara udara, karena Panji Hoetomo sering membawanya dalam perjalanan bisnis perusahaan mereka, terutama saat Rais kecil. London, Roma, Moskow, Paris, Tokyo, Seoul, bahkan Beijing pernah dikunjunginya. Setiap bulan minimal satu kali Rais mengikuti Ayahnya. Semua itu membuat Rais merasa biasa akan situasi di kota besar.
Kali ini sedikit berbeda.
Entah mungkin pengalamannya dengan Al Qaeda telah mengubah dirinya, dan juga penilaiannya akan kehidupan. Mungkin juga pengaruhnya sampai kepada kehidupan dirinya sejak masih anak-anak. Rais kini melihat keadaan kota sebagai sesuatu yang tidak membahagiakan.
Orang-orang berjalan dengan terburu-buru dan wajah kurang bersahabat. Hanya sedikit di antara mereka yang tertawa-tawa bahagia, dan Rais bisa memastikan itu adalah kelompok orang-orang yang hendak pergi liburan.