Pagi harinya, Rais makan dengan lahap. Malikha meneleponnya di tengah sarapan.
“Maaf kalau aku mengganggu sarapanmu.” Kata Malikha.
Dari ujung sana terdengar bahwa gadis itu sedang menyeruput sesuatu.
“Tidak masalah.” Kata Rais.
“Apa yang lebih baik dari makanan berlimpah usai malam yang panjang?” lanjutnya.
Malikha terdengar menyeruput sekali lagi.
“Jadi, apa yang sudah kau lakukan semalam? Kau terdengar puas sekali.” Tanya Malikha.
“Bisa dibilang demikian. aku menikmatinya.” Jawab Rais.
“Ini seperti...sebuah permainan.” Lanjutnya.
“Permainan yang berbahaya.”
“Aku tahu ini berbahaya dan menakutkan. Hanya saja, ini lebih dari itu. Aku seperti melakukan suatu hal yang seharusnya sudah sejak lama kulakukan.”
“Benarkah? Apakah kau tahu bahwa karir sebagai pencuri di tengah malam sama sekali tidak memiliki jaminan? Tidak ada asuransi atau apa pun yang menjamin kelangsungan hidupmu?”
“Yah, begitulah. Tapi kau bisa melihat bahwa tidak ada jaminan dalam apa pun di dunia ini.”
“Tentu saja.”
“Oh ya, aku punya hasil foto semalam. Aku ingin mencucinya, tapi aku tidak mempercayai tempat konvensional.”
“Aku punya kenalan, mau kubantu?”
“Aku memang mengharapkannya.”
“Baiklah.”
“Tapi, apakah temanmu bisa menyimpan rahasia?”
“Kujamin.”
“Sempurna.”
Rais turun ke perpustakaan pribadinya. Ia menyimpan pakaian yang digunakannya semalam.
Malikha datang tidak lama kemudian.
“Kau benar-benar serius, ya?” tanya Malikha.
“Ah, aku harus menyimpan ini. Mungkin tidak akan kugunakan lagi?”
“Sungguh? Kau tidak akan berakting jadi perampok lagi?”
“Oh, itu sih masih.”
“Lalu pakaian ini kan berguna untuk itu.”
“Hmmm, memang. Tapi tidak nyaman. Semua ini tidak terlalu praktis dan juga tidak cukup nyaman untuk perampok di malam hari. Aku perlu alat pemanjat yang lebih baik. Selain itu kacamata untuk melihat dalam gelap, juga lampu infra-merah akan sangat berguna.”
“Perampok dengan peralatan seperti itu minimal harus mendapatkan isi brankas bank.”
“Ya, kupikir juga demikian.”
Malikha pun pergi dengan Toyotanya meninggalkan Rais sendirian. Rais berpikir untuk mempersenjatai dirinya dengan lebih lengkap. Tapi ia masih mencari dari mana sumbernya.
Internet, tentu saja.
Selama dua tahun pengembaraannya di Afganistan, Rais sama sekali tidak mengakses internet. Kebiasaan yang sering dilakukannya sebelum 11 September itu seakan terlupakan. Kini, ia mencoba memulai kembali.
Ditemukannya internet saat ini telah menjadi ladang komersial. Begitu ia membuka Google, laman teratas adalah iklan-iklan.
Rais merasa bosan.
Tapi tetap dicarinya berita-berita yang kira-kira dapat membantu dirinya.
Di sebuah situs berita ia menemukan sebuah kejadian kebakaran.
Dari berita tersebut:
...berita dari sumber resmi mengatakan bahwa api berasal dari ruang bawah tanah sebuah bangunan berusia 200 tahun yang meledak. Seorang penjaga malam, Andrew Salford, dipercaya tewas karena kejadian tersebut. Walaupun belum ada keterangan mendetil dari laporan medis, tapi tubuh tersebut bisa dipastikan milik Mr. Salford, seorang pensiunan kepolisian...
Itu adalah...
Rumah Mark Halliday yang menjual karyanya di Atlantic Library.
Jadi tempat tinggal orang yang menyimpan catatan tentang Ibnu Awwad terbakar habis, sehari setelah orang tersebut dinyatakan tewas akibat serangan jantung?
Kebetulan?
Kebetulan my ass, pikir Rais.
Terdengar gurih untuk menjadi bahan investigasi, pikir Rais.
Tidak lama kemudian Malikha kembali dengan membawa sebuah album foto. Semua lengkap, berisi hasil dari kamera Rais malam sebelumnya. Sebagian nampak tidak sempat diingat oleh Rais karena ia mengambil gambar sambil memperhatikan keadaan sekitar ruangan Sneijder.
“Apakah temanmu itu sudah dibayar?” tanya Rais.
“Kau yang harus melakukannya.” Jawab Malikha.
“Tidak masalah. Kau tentukan berapa yang akan kita berikan. Aku mengeksekusi saja.” Timpal Rais.
Ia lalu membawa album pemberian Malikha ke perpustakaan pribadinya, dan mulai meneliti satu demi satu foto di dalamnya. Isi dari catatan yang ia foto tersebut menyerupai sebuah memoar dari seseorang.
“...manusia telah berada pada suatu masa yang gelap. Ini adalah masa sebuah kegilaan sedang merajalela di seluruh penjuru bumi. Ini adalah masa perjuangan bagi siapa pun yang merasa sebagai manusia, ketika segala hal baik harus tetap selamanya terkubur tanpa ada yang menyadarinya.
Ketika malam tiba, cahaya pun hilang, dan kegelapan menguasai langit, petir dan halilintar pun menyerang bumi. Suara badai dan angin menjerit membawa teror bagi alam dunia. Air dan tanah menyambut kegelapan.
Manusia, hewan, tumbuhan, dan semua unsur bergabung untuk mencoba menjaga dunia.
Dalam dunia yang penuh kegilaan itu, manusia masih meyakini bahwa akan muncul seorang juru selamat. Ia adalah orang yang lahir dari tempat tanpa belas kasihan. Sejumlah orang menyebutnya sebagai nabi. Sebagian orang menyebutnya iblis. Satu hal yang pasti, saat itu dunia telah terlalu lama berada jauh dari apa pun yang layak disebut peradaban.
Ia lahir untuk menghentikan semua kegilaan di dunia. Kezaliman akan membisu. Dalam dunia tanpa petaka tersebut, muncullah sebuah kejayaan.
Ia akan lahir sebagai seorang anak. Anak yang dianggap sebagai anak pendosa. Tidak ada yang mengira bahwa ia adalah Sang Penyelamat. Semua orang yang tahu dan mengerti akan berusaha menahan dan mempertahankan si anak yang baru lahir itu.
Lalu akan terdengar bisikan: berikan ia kepadaku.
Si pembisik muncul dan berusaha mengambil si anak. Tidak ada yang berniat mencegahnya. Bahkan kebanyakan dari mereka membantu si pembisik. Seolah apa yang diperintahkan si pembisik pasti dipenuhi oleh siapa pun yang mendengarnya.
Semua orang bingung kenapa mereka mau menuruti kehendak si pembisik begitu saja.
Tapi tidak ada yang mampu menjawab.
Mereka semua patuh.
Patuh, tanpa syarat.
Di tengah kebingungan tersebut, sesuatu terjadi.
Dari langit turunlah seorang pria.