Kebanyakan orang-orang sibuk di New York sedang berjuang untuk mencapai kantornya, mengisi penuh gelas kertas mereka dengan kopi, dan menyusun strategi untuk menjalani hari mereka. Tapi Clinton Hawles bukan orang yang terlalu patuh kepada suatu ritmik seperti itu. ketika jam masih jauh dari pukul sembilan, rapat staf di Hoetomo, inc. telah berlanjut selama lebih dari satu jam.
Seorang eksekutif muda berambut pirang dan bertubuh tegap, dengan pakaian serba mewah sedang berbicara kepada seluruh orang di ruangan itu, sambil terus menggerakkan tangannya.
Namanya David Bow.
“Kita melihat bahwa pertumbuhan dan profit kita cukup meningkat pesat.” Katanya.
Seseorang yang lebih senior bernama Neil Scholes berbicara sambil berdiri.
“Ada beberapa hal yang mungkin tidak akan disetujui Mr. Hoetomo.” Katanya.
“Begitu? Bisa Anda jelaskan?” timpal Bowles.
“Bisnis peralatan berat, itu kurang menguntungkan.”
Dari kursinya yang empuk, Hawles berkata, “Dari tiga puluh tahun pengabdiannya di Hoetomo, aku yakin Mr. Scholes memiliki alasan khusus untuk pendapatnya. Namun ini bukan lagi saatnya kita mempermasalahkan apa yang akan disetujui atau tidak oleh pimpinan kita. Panji Hoetomo tidak akan membiarkan perusahaan ini melenceng dari tujuan awalnya, namun itu adalah tugas kita selaku manajemen puncak.”
Scholes menatap tajam ke arah Hawles, namun tidak sepatah kata pun keluar dari mulutnya.
Pada waktu tersebut, tidak jauh dari tempat rapat diadakan, Rais Hoetomo berjalan keluar dari lift. Ia mengenakan stelan jas lengkap dengan dasi, dan berjalan dengan tegap sambil melihat ke arah sekeliling tempatnya berada.
“Selamat pagi.” Kata Rais. “Saya hendak bertemu Mr. Hawles.”
Seorang gadis muda yang sedang merapikan foldernya mendongak. Gadis itu langsung meletakkan foldernya.
“Anda...” kata si gadis.
“Ya, saya Rais Hoetomo.”
Bola mata gadis itu mengembang.
Ia tidak mempercayai penglihatannya.
Telepon berdering.
“Anda boleh menjawabnya, saya bisa menunggu.” Kata Rais.
“Oh, baik.” Si gadis nampak gugup.
Dari ujung telepon, terdengar suara Hawles.
“Janice, segera bawakan laporan yang kuminta.”
Hawles masih berbicara di telepon ketika matanya menangkap sosok yang baru saja masuk ke ruangannya.
“Selamat pagi.” Rais menyapa Hawles. “Aku yakin Anda punya waktu yang cukup untuk kita berbincang.”
Hawles terdiam sejenak, setelah beberapa saat barulah ia bisa mulai berbicara.
“Saya tidak menyangka Anda akan hadir.”
“Well, maaf untuk mengejutkan Anda.”
Tidak sampai setengah jam kemudian, Rais dan Hawles telah duduk di ruangan kerja Hawles yang luas dan memiliki pemandangan ke arah setengah dari kota New York. Janice menuangkan kopi dan teh ke cangkir khusus korporat dan beberapa penganan ke atas meja.
“Apakah ada hal lain yang Tuan-tuan butuhkan?” tanya Janice.
“Saat ini tidak. Mungkin nanti kami akan memanggil Anda jika dibutuhkan.” Jawab Rais.
“Dr. Hoetomo, Anda tentu sudah mendengar tentang rencana akuisisi perusahaan?”
“Ya, aku pernah mendengarnya.”
“Itu sudah disepakati dan resmi hitam di atas putihnya, Sir.”
“Hmmm.” Rais menyeruput tehnya. “Pada dasarnya aku tidak akan keberatan.”
“Benarkah?”
“Semua untuk kebaikan bisnis perusahaan akan kudukung. Hanya saja tolong pastikan bahwa semua ini akan meraih keuntungan besar bagi perusahaan.”
“Saya jamin, Sir.”
“Begini, Mr. Hawles. Saya berada di sini bukan untuk mengintervensi apa pun. Justru saya di sini untuk berkontribusi.” Rais menyeruput tehnya lagi.
“Aku akan semakin mengembangkan perusahaan ini lagi.” Lanjutnya.
“Itu akan sangat menyenangkan. Apakah ada yang bisa saya bantu?”