Call Me Miss J

Noura Publishing
Chapter #2

Satu

Aku merapikan poni, lalu menatap puas bayangan diriku di cermin setinggi satu setengah meter ini.

Aku tampak lumayan oke, dengan syarat tidak mengacuhkan bagian-bagian tubuh yang tak bisa kuusahakan lagi, kecuali aku operasi plastik atau apa. Aku merekap penampilanku yang sudah susah payah kuusahakan sejak satu jam lalu: rambut ikal/megar sudah tercepol tinggi dengan menyisakan poni yang jatuh bebas di dahi (untuk menutupi sekawanan besar jerawat yang sedang senang membelah diri); tubuhku terbalut kemeja putih yang sudah dikecilkan sehingga membentuk S-line yang tak seberapa S (apalagi kalau diperhatikan cowok-cowok yang kelewat mau tahu), dasi hitam, jumper abu-abu yang sangat kusuka, rok lipit kotak-kotak yang juga sudah dipendekkan sehingga jatuh di atas lutut yang tak sewarna dengan bagian tubuhku yang lain (atau bisa dibilang, perbedaannya sangat ekstrem), kaus kaki putih panjang menutupi seluruh betisku yang hampir bertelur, dan sepatu putih Adidas yang kubeli dengan menghabiskan tabunganku seumur hidup.

Apa aku sudah menyebut kata lumayan? Well, inilah penampilan terbaik yang bisa aku “usahakan”. Aku memang sangat mengikuti arus. Maksudku, aku bukanlah seorang anak SMA yang keren, berbeda dari yang lain, yang dianggap cowok-cowok sebagai cewek yang oke …. Aku cuma seorang anak SMA yang benar-benar biasa, yang fungsinya hanya untuk menambah jumlah cewek-cewek berambut cepol berseragam sempit dan berkaus kaki tinggi yang sudah berantakan di SMA mana pun di Indonesia, tanpa menarik perhatian siapa pun kecuali kalau aku cantik ….

Namun, aku tidak cantik. Aku biasa saja. Aku hanya pernah punya pacar sekali selama enam belas ta­hun hidupku, dan itu hanya cinta monyet biasa. Tanpa kesan. Tanpa kenangan. Dan, seumur hidup, aku harus berusaha melupakan bagaimana dia meninggalkanku pada saat aku sedang menderita cacar air, dengan alasan aku terlihat seperti Monster Nangka. Aku bahkan tidak tahu ada monster semacam itu, padahal aku tumbuh dan besar bersama Naruto.

Namun, aku tidak jelek juga. Aku punya senyum yang cukup manis, mata yang cukup indah, walaupun keseluruhan jerawat di wajahku membuat tak seorang pun mau memperhatikan yang lain. Aku sudah berusaha sekuat tenaga soal jerawat ini dengan mencuci wajahku dengan teh setiap hari, mengolesinya dengan obat jerawat nyaris setiap aku ingat sehingga aku bisa menghabiskan tiga tabung dalam sebulan, dan melakukan serangkaian facial yang membuatku radang tenggorokan karena kebanyakan menjerit, tapi tak satu pun berhasil menahan laju penyebaran jerawat yang sekarang jumlahnya lebih banyak dari penduduk Singapura ini.

Aku pernah menangis frustrasi suatu malam, tapi akhirnya berhenti begitu Mama mengatakan aku hanya sedang dalam masa puber yang lebih hebat dari siapa pun. Ya, tidak ada salahnya menghibur diri. Toh, aku juga harus tetap hidup untuk melihat bagaimana masa puberku itu berhenti dan akhirnya mendapatkan kulit sehalus punya Mama.

Sekarang, aku sudah berhasil menyembunyikan sebagian besar jerawatku di balik poni dan merasa lebih baik karenanya. Ya, ya, aku tahu, tidak baik membiarkan jerawat terkena rambut yang kotor karena keringat, tapi peduli apa, sih. Toh, tanpa bantuan poni pun jerawatku akan beranak pinak dengan sendirinya.

Aku mencoba untuk tersenyum semanis yang aku bisa, dan ternyata aku memiliki kelebihan lain yang tidak pernah aku sadari. Gigiku sangat rapi dan putih, mengingatkanku pada deretan gigi milik Natalie Portman. Aku mencoba untuk tersenyum lagi dari beberapa angle—hanya untuk memastikan gigiku terlihat bagus dari setiap sudut—sambil bergaya-gaya seperti sedang difoto. Kata teman-temanku, sih, aku fotogenik. Namun, aku tidak setuju pada pepatah yang mengatakan julukan fotogenik itu hanya untuk orang jelek yang terlihat bagus di kamera. Kalau memang demikian, apa yang terjadi dengan Luna Maya?

“Kayaknya seru, tapi bisa lo bangun sebelum subuh kalo mau ada sesi pemotretan begini?”

Suara seseorang mengagetkanku dari aktivitas nyengir tiga jari. Rio, adikku, tampak bersandar di ambang pintu kamarku dengan ekspresi datar. Dua tangan terlipat di depan dadanya. “Nggak bermaksud mengganggu, tapi sebentar lagi kita masuk sekolah.”

“Nggak bisa ngetok pintu, ya?” sungutku kesal, lalu meninggalkan cermin dan menyambar tas.

Rio mengedikkan bahu. “Wah, gue nggak liat ada pintu.”

Aku melirik lubang persegi panjang di belakang­nya, tempat pintu kamarku biasanya berada. Kemarin, pintu itu jebol didobrak oleh Ayah yang curiga aku pingsan di kamar mandi hanya karena aku tidak menjawab panggilannya selama lima menit. Padahal, saat itu aku sedang menyetel iPod kencang-kencang dan mendengarkannya lewat earphone. Jelas saja aku bengong ketika dua patahan pintu melayang ke seberang ruangan saat aku sedang asyik membaca lirik lagu.

Setelah mendesah, aku berjalan mengikuti Rio yang bergegas turun, dan mendapati Ayah dan Mama sedang sarapan di ruang makan. Ayah melirikku, lalu nyengir lebar. Jelas dia masih merasa menyesal karena telah membuat kamarku menjadi akses bebas bagi siapa pun yang lewat.

“Sori, ya, Le. Besok pagi pintunya jadi, kok,” katanya sambil menggaruk bagian belakang kepala.

Aku hanya mengangguk tak jelas, lalu meraih setangkup roti isi dan mulai menggigitnya.

“Nanti Mama pasangin gorden, deh,” timpal Mama seakan dengan demikian, masalahnya jadi beres. Aku hanya membalasnya dengan senyum hampir sinis, tapi dia jelas-jelas tak paham karena sekarang dia sudah kembali asyik mengoles roti dengan selai kacang.

“Ya ampun, Le, apa gue udah bilang kita hampir telat?” sahut Rio yang tiba-tiba muncul dari balik pintu depan. Ternyata, tadi dia sudah keluar. “Masih sempet lo sarapan?”

Aku melirik Gucci-ku. Terlonjak, lalu mengucapkan salam kepada kedua orangtuaku—yang aku tak yakin bisa dimengerti karena roti yang memenuhi mulutku—dan cepat-cepat berlari keluar rumah.

Rio menatapku galak dari balik helm Arai-nya dan segera menyalakan mesin motor besarnya begitu aku melompat duduk ke jok belakang. Kemudian, tanpa aba-aba, dia melajukan motornya seolah dia Valentino Rossi atau siapa.

Rasanya aku rela untuk turun dan naik angkot daripada ikut dengannya.

***

Setelah aku dan Rio sampai dengan selamat di sekolah (terima kasih Tuhan) kami segera berlari menyusuri parkiran sekolah yang luas untuk masuk ke kelas masing-masing. Ya, sebenarnya tidak masing-masing, sih, karena kenyataannya kami sekelas. Bukannya aku pernah tidak naik kelas atau apa, tapi secara kebetulan, Rio yang dulunya bukan siapa-siapaku sudah selama tiga tahun ini menjadi adik tiriku. Kami adalah teman sekelas saat SMP dan aku sama sekali tidak punya firasat bahwa dia akan menjadi anggota keluargaku. Baru setelah aku pulang lebih awal dari kemping yang tak kusukai dan mendapati ayahnya dan Mama di rumah, aku sadar bahwa cepat atau lambat, duniaku pasti berakhir. Yup, ayahnya sekarang adalah Ayah, dan mereka—maksudku Ayah dan Mama—ternyata saling menyukai sejak bertemu di rapat orangtua murid.

Aku, sih, tidak keberatan karena Mama sudah terlalu lama menjadi orangtua tunggal. Semenjak Papa meninggal karena serangan jantung saat aku masih kecil, tapi halo? Tidak bisakah dia memilih orang lain, selain orangtua salah seorang teman sekelasku? Maksudku, ya ampun, dari jutaan pria lain di luar sana, mengapa dia harus memilih seorang pria yang sangat kontroversial, paling tidak bagiku itu? Praktis, setelah Mama dan Ayah menikah, semua orang mulai mengejekku dan Rio. Aku bahkan sempat mau kabur dari rumah dan tidak berangkat ke sekolah karena malu.

Namun, segalanya berubah saat Ayah mengatakan dia harus pindah dinas ke luar kota. Jadilah kami ada di sini, di Jakarta, memulai kehidupan yang sama sekali baru. Duniaku tak jadi berakhir karena tiba-tiba aku men­dapatkan ide cemerlang. Tidak ada yang tahu kami di sini, hidup sebagai satu keluarga. Maka dari itu, aku membuat beberapa perjanjian tidak tertulis dengan Rio. Mulai detik itu, kami memutuskan tidak menjadi saudara begitu berada di luar rumah. Dan, hanya kami berdua yang tahu soal ini. Oh, oke, bersama Tuhan dan staf-stafnya, belum lagi Kepala Sekolah dan staf-stafnya juga. Namun, mereka sudah berjanji tak akan memberi tahu, kecuali yang kusebut pertama. Aku tak bisa berbuat apa-apa kalau Tuhan berkehendak lain, kan?

Tanpa terasa, kami sudah sampai di pintu kelas yang masih dipenuhi kerumunan anak. Aku bernapas lega, dan kulihat Rio melakukan hal yang sama. Detik berikutnya, dia melirik judes padaku.

“Untung belum masuk. Kalo udah, gue bakalan nya­lahin lo dan segala acara sok supermodel lo tadi,” katanya ketus, lalu seolah tak terjadi apa-apa, dia melenggang santai ke dalam kelas.

Aku bisa melihat mata cewek-cewek mengekorinya. Aku tahu, aku harus menanggung beban berat seumur hidupku kalau mereka sampai tahu dia adikku. Kenyataan bahwa aku tinggal seatap dengannya bisa membuatku terbunuh. Padahal, menurutku tak ada yang spesial darinya. Ya, mungkin Rio cukup cakep untuk ukuran cowok-cowok di kelas, tapi dia tak pernah menganggap penting apa pun kecuali komik dan PlayStation. Kurasa dia seorang maniak. Tidak dalam artian negatif, tentu saja. Namun, memangnya ada maniak dalam artian positif?

“Hoi!” seru Alex, seorang gadis manis berambut pen­dek semi-biru. Dia terlihat menyeruak kerumunan sambil berjalan ke arahku diikuti Vidi, cewek bertampang kebaratan yang membuat kepala semua cowok bergerak searah pergerakannya, dan Sabil, gadis mungil bertampang ramah.

Alex dan Vidi adalah sahabatku semenjak kami masuk SMA. Mereka adalah orang-orang yang hampir setipe denganku—oke, kecuali tampang, aku bilang, kan, hampir—dan karena itulah kami bersahabat. Kami dipersatukan saat OSPEK, saat kami semua dihukum berjemur karena sudah bersikap sok pahlawan dengan membantu teman kami yang dimarahi tanpa alasan, yang tak lain adalah Sabil.

Alex, atau yang nama lengkapnya Alexandra Nastitia Irawan, adalah cewek yang sedikit bunglon: kadang serius, kadang ceria, sesuai mood yang dirasakannya hari itu. Tak mau menengok kalau dipanggil Sandra—kecuali oleh ibunya. Dia juga sangat berjiwa hard core dan tak pernah memedulikan orang lain yang menganggap penampilannya aneh. Gaya rambut dan warnanya selalu berubah tiap tiga bulan, dan dia selalu—tak pernah absen sekali pun—memakai gelang dari bahan karet berwarna hitam pemberian ayahnya yang meninggal saat mendaki gunung Semeru. Sesama kehilangan ayah inilah yang membuatku dan Alex bisa mengerti satu sama lain.

Vidi, atau yang nama lengkapnya Navidia Carissa, adalah si kebaratan di kelompok kami. Kulitnya putih bersih, hidungnya mancung, matanya cokelat dan tingginya paling tidak seratus tujuh puluh senti. Ketika dia mengatakan bahwa dia mendapatkan semua itu dari neneknya yang orang Jerman, kami semua langsung bertanya-tanya apa dia masih keturunan Hitler berhubung sifatnya yang hampir-hampir lalim kepada semua orang (terutama aku). Dari luar memang kelihatannya cantik dan sempurna, tapi percayalah, pepatah don’t judge a book by its cover memang benar-benar berlaku untuknya.

Sabil, atau yang nama lengkapnya Davina Salsabila, adalah yang paling, apa, ya, kata yang tepatnya, lemah dari kami semua. Dia jarang bisa membela diri (walaupun namanya Sabil), mungkin karena dia adalah satu-satunya anak perempuan dalam keluarga militer yang tegas. Dia pernah beralasan bahwa ayahnya tidak-kejam-hanya-agak-pemarah saat kami menghujatnya karena berkali-kali diusir dari rumahnya setelah dianggap biang onar, tapi kami langsung memberinya pengertian bahwa ayah yang hanya agak pemarah tidak seharusnya mondar-mandir membawa-bawa pistol saat kami semua sedang tertawa-tawa menonton High School Musical.

Kami semua memutuskan untuk berteman, setelah berdiskusi selama dua jam pada suatu siang yang terik di depan tiang bendera. Saat itu, kami sama-sama tidak terima dengan perbuatan senior yang kami pandang sebagai hanya cari-cari kesalahan: Sabil dihukum berjemur—sambil dimarah-marahi tak jelas—sampai mimisan hanya karena salah satu kaus kakinya melorot. Setelah berembuk, kami akhirnya memutuskan untuk menarik Sabil dari barisan dan bersama-sama melangkah santai ke kantin sehingga membuat bengong seluruh senior. Peristiwa itu begitu diingat banyak orang, hanya saja, yang kusesali, yang diingat orang-orang hanyalah Alex yang keren, Vidi yang cantik dan Sabil yang imut. Tak ada yang ingat padaku yang juga termasuk ke dalam usaha penyelamatan makhluk tak berdosa itu.

“Ngelamun aja lo,” kata Alex, menyadarkanku.

“Hah!” sahut Vidi keras, membuatku segera merasa tak enak. Kalau Vidi sudah begini, biasanya ada sesuatu yang salah di matanya. “Kenapa tuh rambut lo?”

Aku menghela napas. Aku sempat lupa. Cepat atau lambat, Vidi pasti akan mengomentari poni-penutup-jerawat-ku.

“Nyoba gaya baru,” gumamku tak jelas sambil me­langkah masuk ke kelas, tidak mengacuhkan dahi Vidi yang langsung berkerut seolah sedang memikirkan kenapa E sama dengan MC2.

Aku duduk di kursiku bersama Alex sementara Vidi bersama Sabil duduk di depan kami. Vidi masih saja mengawasi poniku, seolah berharap poniku bakal terbang atau bagaimana.

“Lo tahu, Le, poni lo tuh nggak baik—”

“Gue tahu,” tandasku cepat, “tapi, coba lo hargain usaha gue yang terakhir ini. Gue udah terlalu putus asa,” kataku lemah, dan Vidi langsung mengangguk mengerti, walaupun masih agak tak suka.

“Le, udah ngerjain PR belum?” tanya Sabil tiba-tiba, mulutnya mengulum permen kojek. Kalau begini, dia tampak seperti anak TK yang dipakaikan seragam SMA, sangat menggemaskan dengan mata yang berbinar dan bibir kemerahan.

“Pasti belum.” Alex membantuku menjawab.

“Pastinya,” kataku, seolah menyesal.

“Nih, aku udah kerjain untuk kamu.” Sabil berkata riang sambil menyerahkan sebuah buku tulis yang sudah diisi lengkap dengan PR Fisika.

Lihat selengkapnya