Call Me Miss J

Noura Publishing
Chapter #3

Dua

“le, pintunya lagi dalam proses.”

Aku berhenti mengunyah roti, lalu memandang Ayah sebal. Apa pentingnya, sih, dia bilang kalau pintunya sedang dalam proses? Sebentar lagi pasti dia akan memberitahuku kabar si pembuat pintu beserta keluarganya.

“Hmm,” gumamku tak jelas, berharap dia tidak mem­buat pagiku jadi buruk, setelah semua yang terjadi di sekolah kemarin.

“Ayah bener-bener minta maaf, Le. Pintu kamu yang baru ini terbuat dari kayu jati, kok. Kuat banget, tahan lama, terus anti rayap, lho. Terus nanti Ayah bikinkan kenop biar jadi mirip Pintu Ke Mana Saja-nya Doraemon ....”

Memang bukan soal kabar si pembuat pintu atau keluarganya, tapi ternyata soal bahan si pintu dan bagaimana pintu itu akan tahan rayap, plus mirip pintunya Doraemon. Memangnya aku mau tahu? Aku cuma mau pintunya terpasang di sana, as soon as possible. Dan, tolong jangan buat aku nyasar ke zaman dinosaurus atau apa pun saat membukanya, aku hanya mau beristirahat dengan tenang!

Aku bisa mendengar dengusan Rio. Dia yang tinggal seumur hidup dengan Ayah saja masih geli dengan kata-katanya. Terkadang, Ayah memang bisa bertingkah polos seperti ini. Aku bisa mengerti. Ayah adalah profesor yang hidupnya hanya seputar ensiklopedi dan diktat kuliah. Yang tidak bisa aku mengerti, kenapa Mama bisa jatuh cinta padanya? Ayah, kan, seorang profesor yang cukup konservatif. Maksudku, botaknya itu, lho ... ya, kecuali kenyataan—yang kadang-kadang keren—bahwa Ayah juga pemegang sabuk hitam Taekwondo. Pintuku itu saksinya, ingat? Namun, yang itu tidak keren.

“Jadi, gimana sekolah, Le?” tanya Ayah tiba-tiba, “Katanya kemarin kamu sempat pingsan, ya?”

“Hem,” gumamku lagi. Sebenarnya aku malas membahas hal ini lagi. Sudah cukup kemarin Ayah panik saat melihat dahiku yang merah keunguan dan berniat memiting siapa pun yang membuatku begitu. Aku tidak mau melihat cowok impianku dipiting. Mungkin Ayah bisa memiting Rio karena sudah terlalu banyak bicara.

“Udah baikan dahinya?” tanya Ayah lagi.

“Lumayan,” jawabku enggan.

Mendadak, ponselku berbunyi dan aku spontan berteriak ‘yes, saved by the phone’ dalam hati. Bukannya aku benci pada Ayah, tapi ide menceritakan kehidupan SMA-ku—apalagi kalau termasuk detail tentang Dimas dan bagaimana dia menyaksikan jerawat-jerawatku pecah—sama buruknya dengan ngobrol soal siklus bulananku dengannya.

“Halo?” sambutku riang.

“Hoi,” jawab Alex dari seberang, “Le, gue pinjem CD Coldplay lo yang kemarin, ya. Ntar dibawa, ya!”

“Hah? Itu bukan punya—”

Klik. Alex sudah menutup teleponnya sebelum aku sempat menyelesaikan kalimatku.

“Gila, pelit amat, sih,” gerutuku sebal.

Aku tahu tabiat Alex. Pasti tadi dia menelepon dari telepon rumahnya. Tak pakai basa-basi. Tak pakai kata ‘tolong’. Aku nyaris percaya perkataan Vidi bahwa Alex sudah memperhitungkan semuanya. Maksudnya, Alex sudah mencatat apa yang akan dia katakan sebelum dia menelepon. Kalau kami membahas soal ini, dia selalu mengedikkan bahu sambil berpidato tentang efisiensi telepon atau apalah. Oh, ya, dia satu-satunya dari kami yang tidak punya ponsel. Kami yang kumaksud di sini tentu saja semua umat per-SMA-an di dunia ini. Menurut Alex, ponsel memiliki radiasi yang cukup tinggi untuk menimbulkan kanker otak, pernyataan yang tidak diacuhkan oleh berjuta-juta makhluk di dunia yang harusnya sudah kena kanker otak saat ini kalau omongannya benar.

“Ri, tadi itu si Alex,” kataku, membuat Rio menatapku, “dia mau pinjem CD Coldplay lo yang gue pinjem kemaren. Katanya dia suka.”

Entah apa aku berhalusinasi, tapi Rio tersedak tepat setelah aku selesai bicara. Huh, karma itu pasti ada. Aku yakin akan hal itu.

***

“Lo pake jampi-jampi apa sampe si Rio mau ngomong sama lo?” tanya—atau lebih tepatnya, cecar—Vidi setelah melihat dengan mata kepalanya sendiri saat Rio memberikan CD Coldplay kepada Alex.

“Jampi Coldplay,” jawab Alex asal sambil memasuk­kan CD itu ke ranselnya, “kok, bisa CD lo ada di dia, Le?”

“Dia fans Coldplay juga,” kilahku buru-buru, dalam hati meminta maaf pada Rio dan Coldplay.

“Akhirnya ngomong juga si cowok gunung es itu,” kata Vidi sambil memperhatikan Rio yang sedang membaca komik BLEACH dengan serius. Maksudku, apa, sih, yang begitu serius dari komik? Orang jadi menganggapnya gunung es padahal dia cuma maniak!

“Dia bukannya nggak mau ngomong,” jelasku tanpa sadar, “dia tuh anaknya pemalu berat kalo di depan orang. Keliatannya aja yang cool. Aslinya, sih, parah.”

Aku membutuhkan waktu beberapa menit untuk menyadari bahwa yang barusan kubicarakan adalah hal yang tergolong top secret dalam kamusku. Dan, sekarang aku mendapati ketiga sahabatku memandangiku dengan tatapan curiga.

Lihat selengkapnya