Alisha termangu menatap pintu yang setengah dibanting. Baru saja lelaki yang paling ia cintai berada di sisinya, dalam pelukannya. Belum hilang manisnya aroma kayu dan rempah maskulin yang ia hirup dari tubuh Rey. Apa yang salah? Kenapa Rey menolaknya? Toh, ia masih istri sah Rey. Alisha menangkup kedua tangannya di wajah.
Alisha menggeleng, berusaha menyingkirkan rasa malu dan kecewa yang menggelayuti hatinya. Ia memgusap wajah, gusar, merasa harus mempertanyakan segalanya. Mempertanyakan sikap Rey padanya barusan.
Nada "bip" terdengar dari ponselnya, menandakan satu pesan masuk. Alisha meraih benda pipih itu, dan memeriksanya.
Tata: [Gimana? Sudah ada hasilnya?]
Alisha: [Belum.
Gue ketemu sama dia.]
Tata: [What? Lo gila?]
Alisha: [Gue emang udah gila, Ta.
Gue bisa tambah gila kalo nggak bisa ketemu lagi.]
Tata: [Hidup itu pilihan, sayang. Lo nggak bisa dapetin dua-duanya. Karier dan keluarga. Itu nonsense. Lo lihat keadaan gue. Gue nggak mau lo berakhir sama kaya gue. Nggak berharga, dibuang, setelah apa yang gue korbanin. Semua yang gue cita-citakan, hilang begitu saja. Seolah gue nggak berhak bahagia.]
Alisha: [Gue takut membuat pilihan yang salah, Ta.]
Tata: [Inget, Sha. Lo nggak punya pilihan yang lebih baik. Kapan lo balik?]
Alisha tidak membalas pertanyaan Tata. Ia hanya tidak tahu, entah kapan kembali ke Padang. Namun ia sudah memutuskan untuk kembali pada Rey. Pada cintanya. Mempertahankan apa yang menjadi miliknya.