Fei dan Habibie keluar dari satu toko yang menjual aksesoris wanita. Di tangan mereka ada beberapa kantong belanjaan. Dua orang berstatus calon kakak dan adik ipar itu memasuki restoran ayam goreng cepat saji.
"Capek banget!" Fei mengipasi wajahnya dengan jari setelah mencepol rambutnya tinggi-tinggi. Selembar tissue basah ia usapkan ke wajah dan lehernya. Beberapa anak rambut yang lepas dari ikatan, menambah pesona gadis itu. Habibie memandangi kegiatan Fei yang kelihatan "ribet sendiri" itu. Senyum tersungging dari bibir Habibie. "Kenapa lo? Kesambet?"
"Enggak ... lucu aja."
"Siapa? Gue?" Fei masih asyik mengelap wajahnya dengan tissue.
"Ya iyalah. Coba lo bayangin, lo yang mau merit, gue yang sibuk. Kayanya nggak cukup nih, ditraktir makan doang."
"Kampret! Malak lo ya. Sama kakak ipar sendiri, coba."
"Eits, belom. Masih calon kakak ipar. Haa, lagian ada-ada aja nih, Bang Rey, nitipin calon bini ke gue. Gue embat tau rasa!"
"Dih, parah lo!" Fei melempar Habibie dengan tissue. Alih-alih mengenai Habibie, lelaki itu malah tidak sengaja menangkap tangan Fei. Sedetik kedua tangan itu saling menggenggam. Sedetik yang membuat bumi mereka berhenti berputar. Orang-orang di sekitar mereka seolah lupa bergerak. Benda-benda melayang di udara. Genderang ditabuh bertalu-talu di jantung Fei dan Habibie. Dua pasang mata itu saling memandang. Udara Pekanbaru yang panas malah membuat tubuh Fei serasa diguyur seember air es. Panas dan gigil menjadi satu.
Buru-buru Fei menarik tangannya. Habibie pun sama terkejutnya. Ia mendehem beberapa kali untuk membuat nafasnya kembali normal. Canggung dengan situasi barusan, Fei memainkan sedotan di gelas minuman berperasa sarsaparilla itu.
Sialnya, minuman itu terasa sama menggigitnya dengan sentuhan tak sengaja barusan. Pipi Fei memanas. Ia yakin, kini wajahnya bersemu merah muda. Fei ingin memastikan itu. Gadis itu merogoh tas ranselnya dan mendapatkan apa yang ia cari. Pantulan dirinya pada cermin kecil, memperlihatkan perubahan rona di pipinya.