"... Dan dengan segala kerendahan hati, saya Rayhan Putra Hasyim, meminang putri Bapak Adnan almarhum dan Ibu Ratna, Feiza Anandita Putri, di hadapan seluruh kerabat dan handai taulan, juga teman-teman semuanya. Fei, bersediakah menerima lamaran ini?"
Suasana yang tadi riuh dengan gelak tawa, kini senyap dan sakral. Terdengar isak dari para wanita yang terharu dengan susunan acara yang berlangsung. Seluruh mata tertuju pada sepasang manusia yang duduk berhadapan.
Rey mempererat genggaman tangannya pada mikrofon. Lelaki itu menatap lurus pada Fei. Sekitar empat meter dari tempat duduknya, Fey bersimpuh dan tertunduk malu. Gadis itu telah siap dengan jawabannya. Mikrofon pun sudah di tangannya sejak tadi.
Satu tarikan napas, Fei menjawab dengan tenang, "Bismillah, saya bersedia."
Tepuk tangan dan suit-suitan terdengar dari belakang tempat teman-teman kantor Fey duduk. Siapa lagi biangnya kalau bukan Mas Yanto dan Bang Togar. "Mantap kali, Peee," soraknya seolah tak cukup dengan tepuk tangan dan segala kehebohan yang mereka timbulkan.
Fei hanya bisa tersenyum miris dan mengangkat jempolnya pada sekumpulan laki-laki di sana. Ratna yang duduk di samping Fei tidak selesai-selesai menyeka kedua sudut matanya. Wanita itu terlihat begitu bahagia. Fei mengusap wajah mamanya dan mereka berpelukan. Marwa pun mendekati ibu dan anak itu. Para wanita seperti satu frekwensi malam ini. Tangis haru dan bahagia menjadi satu. Tawa dan tangis yang membuat malam ini menjadi salah satu malam terbaik yang pernah terjadi dalam kehidupan Fei.