"Ummi sudah keterlaluan, Rey. Tak bisakah aku hidup nyaman di rumah ini tanpa sehari saja tidak ditanyai perihal anak? Aku lelah, Rey!" Alisha menghempaskan dirinya di pinggir ranjang mereka.
"Cobalah mengerti, Lis. Ummi hanya bermaksud baik pada kita. Lagipula, bukankah kita memang butuh privasi? Ayo kita liburan."
"Privasi? Nah, itu yang aku maksud. Ummi kamu terlalu mencampuri urusan rumah tangga kita. Aku benar-benar tidak nyaman dengan ini semua. Aku mau kita pindah saja."
Tanpa mereka sadari, Marwa sedang berada di depan pintu kamar mereka dan mendengar semua perdebatan yang terjadi di dalam sana. Jemari tuanya menggigil. Sebuah amplop putih berisi tiket pesawat dan reservasi hotel, bergetar di tangannya. Marwa tidak menyangka, sejauh itu ternyata Alisha berpikir tentang dirinya.
Wanita paruh baya itu meninggalkan amplop itu di meja makan, dan kembali ke kamarnya dalam keadaan menangis. Hasyim saat itu sedang membaca buku di meja kerjanya. Melihat Marwa, lelaki itu menghentikan kegiatannya dan beranjak mendekati Marwa.
"Ada apa?"
"Tidak apa-apa. Ummi kelilipan." Marwa mengusap bulir air mata di wajahnya.
Hasyim merangkul pundak Marwa. Kemudian mengusap wajah yang mulai menampakkan kerutan itu penuh cinta. "Jangan bohong. Ayah tau, Ummi lagi nangis. Alisha lagi?"