Matahari terasa sangar hari ini. Padahal belum pukul sebelas, tapi Fei sudah banjir keringat. Belum lagi situasi gudang tempat dia bekerja. Hanya tersedia sebuah kipas angin kecil di mejanya.
"Bang, ini udah kehitung semua stoknya. Tolong dibantu susun sebelah sana ya, Bang."
"Bah, aku terus yang kau mintai tolong. Ndak bisa betul kau tengok aku duduk sebentar, Dek. Biarlah kita sama-sama menikmati angin sepoi-sepoimu ini, ya." Bang Togar menarik sebuah kursi ke samping meja Fei. Tak lupa diberinya Fei kerlingan genit sambil mengusap rambutnya ke belakang. "Aa... Sama siapa itulah. Biar diapakannya itu nanti." Lanjutnya ketika Mas Yanto lewat.
"Iyoooh... Bang Togar ni pandai kali cari-cari kesempatan. Ojo gelem, dek. Masih banyak lelaki lain yang bersedia jadi Arjunamu. Koyo aku iki contohnya."
"Alamak, parah kali Mas Yanto ni. Awak pulak ditikungnya."
"Paling tidak aku ini masih jomblo. Alias masih sendiri, alias gak punya isteri, hahaha ...."
"Masih sendiri? Yang kau kirimkan duit tiap bulan ke Jawa itu, apamu?"
"Lah, itu bojoku. Di sini aku kan bujangan." Tawa berderai disertai suit-suitan riuh dari pendukung Mas Yanto dan Bang Togar.
Fei menggaruk tengkuknya sambil cengar-cengir. Memang seperti itulah lingkungan tempat Fei bekerja. Fei menjabat sebagai kepala gudang di sebuah perusahaan sparepart otomotif. Didominasi oleh kaum Adam, membuat Fei harus pandai-pandai menjaga diri.
Sebenarnya ini salah satu dari banyak alasan Mamanya untuk mendesak Fei segera menikah. Takut anak gadisnya kenapa-kenapa. Sejak Papa Fei meninggal, mereka hanya tinggal berdua saja. Mama Fei seorang guru sekolah dasar. Beliau membayangkan masa pensiun nanti, akan dikelilingi oleh cucu-cucu yang menggemaskan.
Fei sendiri tahun ini genap berusia tiga puluh tahun. Gadis itu sebenarnya memiliki wajah yang cantik. Tapi jangankan berdandan, Fei bahkan jarang menatap kaca. Sehari-hari ia lebih nyaman memakai jeans belel, kaus oblong, dan kemeja. Sepatu kets dan topi melengkapi penampilannya.