"Bah! Sudah sampai kau rupanya, Dek. Kupikir aku yang pertama. Nggak lihat aku motor kau di parkiran tadi."
"Iya, Bang. Tadi gue dianter orang."
Bulan Maret di kota Pekanbaru luar biasa panasnya. Bukan cuma panas, rasanya bibir dan mata Fei pun terasa kering seperti gurun Sahara. Matanya mengerjap dengan susah payah. Andai dia tidak sedang puasa hari ini, pastilah seteko es teh sudah berpindah ke perutnya.
Bang Togar sudah mengisi kembali gelasnya dengan minuman berenergi berwarna ungu. Yang pasti, minuman itu dingin dan menggiurkan. Fei meneguk saliva saat Bang Togar mengangkat gelasnya dan seteguk air melalui kerongkongan lelaki itu. Terlihat dari jakunnya yang turun naik.
"Makan, Pe." Ah, itu dia. Aksen Medan Bang Togar dengan seenaknya mengubah nama Fei menjadi Pe.
"Ya, duluan deh, Bang."
Bang Togar menarik handuk kecil dari ransel hitam. Lalu mengusap mukanya kasar sebelum akhirnya handuk itu terkulai lemas di pundaknya. Ia berjalan melalui meja Fei kemudian menghilang di balik pagar besi tinggi dengan kawat duri di atasnya.
Kantin depan pergudangan itu ramai di jam makan siang seperti sekarang. Di sanalah Bang Togar dan hampir seluruh karyawan kantor Fei mengisi perut, atau memesan seteko teh dingin setiap hari.
Setelah sholat dhuhur, Fei memilih berdiam saja di musholla sampai jam istirahat berakhir. Masih mengenakan mukena, gadis itu memejamkan matanya menikmati ruangan yang bersih berpendingin. Getaran kecil di ranselnya mengembalikan kesadaran Fei. Astaga, apa ia benar-benar hampir tertidur tadi?
Malas-malasan ia merogoh tasnya dan menemukan logo hijau bulat di sudut kiri atas.
"Nanti Abang jemput, ya."
Mata Fei melotot, dan sebuah senyum tanpa malu hadir di wajahnya saat ia menemukan kata "Abang" di sana.
"Nggak usah. Entar ngerepotin. Gue pesen online aja." Pesan sesingkat itu sepuluh menit kemudian baru sampai ke Rayhan. Tak lain karena Fei berkali-kali mengedit kata "Gue" atau "Aku" lalu "Fei" atau "Adek."