Bosan berselancar di sosial media, Fei yang sudah berganti pakaian dengan kaus oblong kebesaran dan jogger pants menaruh asal ponselnya. Gadis itu berbaring pada sebuah boneka beruang besar. Dua orang penyiar saling melempar joke terdengar dari radio ponsel Fei. Bayangan Rayhan tiba-tiba hadir pada langit-langit kamarnya.
"Rayhan? Dih, mulai gila gue."
Fei menangkupkan kedua tangan di wajah, berharap bayangan itu hilang saat ia membuka mata kembali. Kenyataannya seraut wajah dengan senyum memikat enggan pergi dari sana.
"Besok Abang enggak bisa nganterin, ada jadwal SC pagi. Tapi sore Abang jemput, ya. Kita makan."
Dan begitu saja, sebuah anggukan lolos dari seorang Fei diiringi jawaban singkat, "Oke."
"Ish! Apa-apaan ini? Jangan-jangan gue... Arrgh... nggak-nggak!" Fei memukul pelan kepalanya, menarik sebuah bantal dan menyembunyikan wajahnya di sana. Tapi tawa itu tetap saja terlihat jelas. Juga semua yang Rayhan katakan padanya beberapa jam yang lalu. Fei melompat dari kasur dan berlari di tempat. Ia juga melakukan gerakan stretching sampai merasa lelah. Kemudian menghempaskan tubuhnya ke kasur, berharap ia bisa tidur nyenyak malam ini.
***
Tiga jam yang lalu Fei dan Rey terlihat di sebuah cafe jalan Arifin Ahmad. Warkop Pinggiran 45 memang tidak pernah sepi pengunjung. Apalagi akhir minggu seperti sekarang. Fei memesan roti bakar cokelat setelah menghabiskan sepiring nasi goreng kampung dan juga milk float. Rayhan takjub dengan daya makan Fei yang ajaib.
"Laper banget ya, Fei."
"Kenapa? Emang udah waktunya makan, kan?" Sepotong roti kembali berhasil masuk ke mulut gadis itu.
"Ya enggak kenapa-kenapa. Habis ini kita nonton?"
"Pulang aja."
"Kok pulang? Cape banget, ya?"
"Enggak juga. Ya, udah. Tapi enggak usah nonton.
"Oke, kamu pengin ke mana?"