Mobil meluncur menuju sebuah mall. Fei belum bicara apa-apa sebab masih menyesali -atau mungkin tidak- kejadian bodoh barusan.
Belum hilang rasanya debaran yang terjadi saat wajah Rey begitu dekat dengannya. Ia dapat melihat warna bola mata Rey, ternyata tidak sehitam itu. Juga hembusan napasnya yang terasa hangat di pipi Fei. Aroma mint dari tubuh lelaki itu menggelitik pusat saraf Fei, menghadirkan sekumpulan kupu-kupu yang mengepakkan sayap lembut secara bersamaan di perutnya.
Bagaimana dia bisa lupa sensasinya jika lelaki itu kini duduk di sampingnya dan terlihat sesekali mencuri pandang padanya. Ya Tuhan, adegan yang sering ia lihat di film-film romantis kenapa harus terjadi padanya. Ini semua karena sepatu ini. Fei menunduk mengamati kakinya yang semakin jenjang saat sepasang sepatu dengan hak tujuh sentimeter melekat sempurna di sana. Apa ia agak berlebihan? Mengingat sebetulnya ia tidak tahu akan ke mana? Ah, Fei hanya ingin terlihat 'berbeda'. Ia ingin terlihat cantik saat bersama Rey. Perasaan macam apa ini. Mendebarkan sekaligus menyenangkan.
"Uhm, sebetulnya kita mau ke mana?" Mungkin memang ia yang harus memulai percakapan jika tak ingin jantungnya meledak dan melompat ke luar sebentar lagi. Fei hanya ingin debaran ini reda. Namun lelaki di sampingnya hanya menatap sekilas kemudian tersenyum. "Kenapa?"
"Enggak kenapa-kenapa. Kangen aja." Ah, lelaki ini sering sekali menggombal. Dan lihat Fei, gadis itu menggigiti bibirnya karena malu.
"Uhm ... kok bisa? Kan baru semalam kita ketemu." Suasana hening kembali. Rey terlihat fokus pada jalanan yang mulai macet. Beberapa pengendara motor menyalip di bahu jalan, sedikit menyita perhatian Fei.
"Fei, ada yang ingin Abang bicarakan, sesuatu yang sebenarnya sudah kita maklumi dari awal perjodohan ini."
"Apa itu?"
Rey membelokkan mobilnya ke area parkir. Butuh waktu beberapa saat menemukan tempat parkir untuk mereka.