Rey tidak menyangka, kejujuran yang telah ia sampaikan ternyata menyakiti perasaan Fei. Gadis itu telah jatuh cinta padanya. Sesuatu yang dari awal ia takuti. Setengah tidak percaya pada apa yang barusan terjadi, Rey tergesa membayar pesanan mereka. Ia berusaha mengejar Fei. Sial baginya, taksi yang membawa Fei cepat sekali menghilang dari pandangan. Rey menuju tempat parkir dan mengebut mobilnya. Lelaki itu kehilangan jejak Fei. Gadis itu juga tidak mengangkat panggilannya. Rey melempar ponselnya ke jok belakang. Ia meremas rambutnya, frustasi.
Berkali-kali Rey memukul setirnya kesal. Jalanan macet semakin membuatnya jengkel setengah mati. Rey memutuskan untuk mendatangi rumah Fei, apapun resikonya.
Setengah jam kemudian lelaki itu sampai di depan rumah Fei.
"Loh, bukannya tadi kalian pergi bersama? Ada apa?"
"Maaf, Bu ... Rey akan cari Fei. Permisi."
"Loh, Rey! Ada apa...?"
"Kalau nanti Fei pulang, tolong kabari Rey ya, Bu. Rey minta maaf."
Malam menjelang. Lelaki itu tidak tahu lagi ke mana harus mencari gadisnya. Dan di sinilah ia kini. Di dalam kamar mandi, di rumahnya. Ia merutuki diri. Tubuhnya kuyup karena ia membiarkan keran shower terbuka. Berkali-kali ia membenturkan tinjunya ke dinding.
Pecundang! Penakut!
Itulah kata-kata yang sejak tadi terngiang di telinganya. Kata-kata yang sejak tadi meneriakinya. Ia teringat seorang gadis menangis terisak karenanya. Oh, mungkin bukan seorang, Alisha juga pergi meninggalkannya dalam keadaan menangis.