22 September 1995, hari pertama Evita diterima bekerja di Pandawa departemen store.
Entah untuk yang keberapa kali Evita melirik Mirado hitam yang melingkari pergelangannya, lalu seperti yang sudah-sudah, desahan kesal dan tak sabar langsung lolos dari bibirnya.
Sudah jam 12.08 WIB tapi masih belum ada tanda-tanda atau isyarat untuknya agar bisa pergi beristirahat. Semua karyawati berseragam blazer lengan pendek warna oranye muda dengan bordiran logo perusahaan di dada, tampak masih sibuk dengan kegiatan masing-masing.
Evita kembali menyandarkan tubuhnya yang lemas ke rak berbentuk kotak besar dari bahan logam, yang berisi tumpukan celana berbahan denim yang sudah ia lipat rapi, setelah beberapa waktu sebelumnya begitu berantakan dan bertumpuk-tumpuk tak karuan bentuknya, setelah dipilih-pilih dan dicoba oleh pengunjung toko.
Andai tadi pagi ia menurut pada Tante Sri untuk sarapan dulu sebelum berangkat, ia tak akan merasa se-lapar ini sekarang. Ia benar-benar sangat menyesal, saat rasa lapar dan haus menderanya. Gara-gara terlalu bersemangat dan takut telat di hari pertama kerja justru membuatnya kurang persiapan. Tadinya Evita pikir Jam 12 siang sudah bisa istirahat, ternyata ....
"Hey, berdiri tegak! Jangan bersandar di rak!!"
Evita merasakan tepukan halus di pundaknya. Sontak ia menegakkan tubuh dan menoleh ke belakang. Seorang lelaki tampan terlihat berwibawa dengan setelan kemeja kuning gading lengan panjang yang digulung sesiku dipadukan dengan celana kain berwarna abu-abu berdiri di samping rak yang tadi disandarinya.
Dari penampilannya, dia pasti karyawan dengan jabatan tinggi di sini! Pikir Evita yang segera mengulas senyum termanis yang mampu ia ciptakan disaat tubuhnya lemas oleh deraan lapar dan haus.
"Kamu pucat sekali! Kamu baik-baik saja kan?" tanya lelaki itu terdengar khawatir. Beberapa kata kembali terlontar dari bibir lelaki itu, namun Evita sudah tak mampu lagi mencerna apa yang ia katakan selain gerak bibir yang sempat ia tangkap sebelum matanya menutup dan tubuhnya limbung ke arah lelaki itu.
Pramono yang terkejut buru-buru mengangkat tangannya saat gadis berseragam putih hitam itu mendadak seolah hendak menyeruduknya. Sigap ia menangkap tubuh lemas yang terhuyung tepat di hadapannya.
Waduh, apa mukaku se-menyeramkan itu? Cuma gara-gara sedikit teguran saja anak baru ini langsung jatuh pingsan? Pramono bertanya-tanya dalam hati.
Di toko itu, semua karyawan memang terlihat lebih segan terhadapnya yang menjabat sebagai senior supervisor daripada atasannya, Store manager atau kepala toko. Catet ya, segan bukan takut!
Tapi karyawan baru ini, ....
"Biiib!! Heeeii, Habib!!" serunya memanggil saat matanya menangkap sosok pemuda di ujung konter obral. "Sini bantu! Anak buahmu, niiih!"
Habib yang sebenarnya hendak mengambil botol minum yang disembunyikannya di laci basket rack urung jongkok dan segera mendekati supervisor yang terlihat tengah memeluk karyawan yang baru tadi pagi menjadi bagian dari konter yang dikepalainya, konter obral.