Kaca jendela mobil Dimas yang tengah melaju sengaja kuturunkan. Supaya bisa merasakan belaian angin yang perlahan menerpa wajahku. Memberi sentuhan pada mataku yang tadinya akan menangis, tapi sebisa mungkin kutahan. Kurasa itu membuat perasaanku lebih baik, setelah melepas kepulangan ibu dan kakakku bersama beberapa kerabat keluarga lainnya ke Jogja. Sedikit ada ketidakrelaan karena harus tinggal berjauhan dengan dua orang wanita yang sangat kusayangi itu. Harus melepas bagian terpenting selama dua puluh enam tahun hidupku hanya dalam sekejap mata, untuk menerima tanggung jawab baru sebagai istri dari Dimas Mahendra Kartadimadja.
Lelaki yang sedang menyetir mobil di sampingku ini, enam bulan yang lalu adalah orang asing. Sebelumnya kami tidak pernah saling mengenal. Sampai kemudian ibu menceritakan tentang keinginan almarhum ayahku dan juga teman lamanya yang pernah mempunyai kesepakatan untuk menjodohkan anak mereka. Aku maklum, Ibu hanya berusaha menghormati keinginan Ayah dengan meminta pendapatku tentang hal ini dan bukan pada Mbak Lila yang sudah pernah menikah dan sekarang berstatus janda cerai. Ibu tidak pernah memaksaku untuk menerima perjodohan itu. Aku bisa menolaknya kalau memang tidak mau. Keputusan sepenuhnya ada di tanganku.
Aku lantas berpikir, apa aku bisa menjalani kehidupan pernikahan yang bahagia dari hasil perjodohan?
Pertanyaan itu yang kemudian menjadi bahan pemikiranku berhari-hari. Aku sedang tidak dalam satu hubungan dengan lelaki lain ataupun menaruh hati pada seseorang. Jadi sebenarnya aku berstatus bebas. Tidak ada ganjalan sama sekali untuk memulai suatu hubungan baru. Namun aku perlu adanya rasa cinta pada pasangan. Bayanganku tentang pernikahan adalah dua orang yang saling mencintai. Lalu apa yang akan terjadi kalau pernikahanku tanpa didasari oleh rasa cinta?
Namun kemunculan Dimas dan ayahnya di rumah kami menjadi jawaban atas segala keraguanku. Dimas berhasil membuatku menaruh perhatian padanya. Aku menyukai keramahannya, tutur katanya yang sopan, dan sikapnya menunjukkan kalau dia adalah lelaki yang baik. Dia juga bisa menarik hati ibuku. Ketampanannya hanyalah seperti pelengkap dari kesempurnaannya sebagai seorang lelaki. Pesona Dimas telah menarikku. Mungkin ini yang namanya terpikat pada pandangan pertama, karena aku menyukai segala yang ada pada dirinya.
Dan masalah pertama yang harus kuhadapi sebagai seorang istri ternyata langsung diberikan oleh Dimas sendiri.
“Aku impoten.”
Itu yang diakui Dimas saat seharusnya kami melewati malam pertama selayaknya pengantin baru lainnya. Dimas mengatakannya tanpa ada basa-basi. Semudah saat orang bilang: aku lapar atau aku ngantuk. Aku nggak tahu harus berkata apa pada Dimas, karena aku bingung dengan sesuatu yang nggak pernah kuprediksi sama sekali. Impotensi selama ini hanya aku ketahui sebatas kata saja. Bukan keadaan yang harus kuhadapi langsung.
Aku diam karena masih harus mencerna pengakuan itu dengan baik, tapi Dimas langsung berkata lagi, “Aku nggak bisa memberi kamu kepuasan batin, Mila. Nggak akan pernah.”
Jelas aku bertambah bingung, yang secara otomatis membuatku tidak bisa berkata apa-apa. Entahlah, aku tidak tahu harus menanggapinya dengan kata-kata seperti apa. Aku masih perlu menimbang cara seorang istri harus bersikap bila mendapati suaminya mengalami impotensi.
Apa aku harus merasa kecewa dan marah? Atau mengeluarkan sumpah serapah di depan muka Dimas karena dia tidak bisa memberikan sesuatu yang sangat penting itu?
Tapi sepertinya aku tidak bisa bersikap begitu.
Semalam aku belum memberikan tanggapan tentang masalahnya itu. Aku memilih untuk tidur setelah hanya ada keheningan tanpa satupun dari kami yang berusaha untuk memecahkannya. Selanjutnya yang bisa kami lakukan hanya tidur pada ranjang yang sama, tapi tidak melakukan apa-apa. Kami sama-sama diam setelah pengakuannya itu. Seolah kata impotensi merupakan bagian pengantar tidurku.
Begitu juga hari ini. Aku tidak mengungkitnya, karena larut dengan kesibukan membantu Ibu dan Mbak Lila membereskan barang-barang yang akan dibawa pulang. Ditambah lagi, aku harus bertegur sapa dengan kerabat dari keluarga Dimas yang baru kukenal.
Sewajarnya para pengantin baru kerap alami, perbincangan berputar pada pertanyaan tentang malam pertama. Aku menanggapinya cukup dengan senyuman, karena tidak mungkin aku mau menjawab pertanyaan tentang kisah di balik dinding kamar kami. Dimas juga tidak banyak berkomentar, tampak enggan dan tak mau terseret jauh dalam topik obrolan.
Aku menoleh melihat Dimas yang tengah menyetir. Dia tersenyum tipis begitu menangkap pandanganku padanya. Yang membuatku agak kaget, dia mengusap bahuku pelan.