Aku masih seorang centaurus belia, hidup sendiri dalam gua di Gunung Pelion, ketika pertama kali berjumpa Dewa Apollo. Dia jatuh dari langit, secara harfiah, sampai-sampai aku nyaris terkena serangan jantung. Tidak setiap hari dewa kelas satu bergigi sempurna dan berjubah keemasan nan kemilau muncul di lereng bukit tempatku tinggal.
“Kau putra Kronos, ‘kan?” Apollo menarik sebongkah batu besar dan duduk di sana. “Ayahku Zeus! Dia putra Kronos juga. Berarti kau pamanku. Aneh, ya?”
“Ah ..., ya, Dewa Apollo.” Kucoba menahan-nahan kedutan di punggungku. “Aneh sekali.” Aku menyadari bahwa langit sudah gelap, padahal baru tengah hari. “Saya tidak bermaksud mengkritik, wahai Dewa Agung, tapi bukankah saat ini Anda seharusnya mengemudikan kereta matahari?”
Dia malah mengangkat bahu. “Sebenarnya, kereta kuparkir karena Artemis sedang mengerjakan gerhana bulan di atas sana.” Dia menggaruk-garuk dagunya yang berjanggut pendek modis. “Atau gerhana matahari, ya? Aku tidak pernah bisa membedakannya.” Dia tiba-tiba terlompat bangun dari batu, seolah baru saja mendapatkan ide cemerlang. “Tapi, itu tidak penting! Aku ingat untuk apa aku ke sini. Ada yang ingin aku tanyakan kepadamu. Aku belum pernah mengendarai centaurus. Bersediakah kau mengajakku jalan-jalan keliling blok?”
“Ng ….”
Dia menempelkan jari ke pelipis dan berujar datar, “Aku memprediksi bahwa kau akan mengiakan.”
Omong-omong, centaurus benci ditunggangi, dalam arti sebenarnya maupun kiasan. Meski begitu, aku mengulaskan senyum terpaksa. “Saya ... dengan senang hati. Ya, silakan.”
“Asyik!” Apollo berseru penuh kemenangan. “Siapa yang punya dua jempol dan bakat meramal?” Dia menunjuk diri sendiri dengan jempol. “Dewa yang ini!”
Ternyata, mengizinkan Apollo menunggangiku adalah tindakan terpintar yang pernah kulakukan. Berbeda dengan rasku pada umumnya, aku bukanlah anggota suku tertentu. Aku penyendiri ... dan terkadang kesepian. Kami menjadi akrab selama Apollo menunggangiku. Menurutku, Apollo lumayan menawan dalam interaksi satu lawan satu, ketika sedang tidak sibuk membuat terkesan para penggemar yang menggilainya. Ketika kami kembali ke gua, dia mengucapkan sesuatu yang mengubah hidupku.
“Paman Chiron, aku memutuskan akan mengajarimu macam-macam.”
Barangkali, menurutnya wacana itu kocak: keponakan mengajari paman. Atau, mungkin, sebagai Dewa Ramalan, dia curiga aku akan memiliki peran penting dalam masa depan Olympus. Apa pun alasannya, Apollo memilih untuk berbagi pengetahuan denganku.
Mula-mula, dia menunjukiku hal-hal sederhana, misalkan cara memasang panah ke busur—“Arahkah ujung yang tajam menjauhi tubuh kita”—dan cara membalut luka berdarah-darah bekas pertempuran. Dia mengajariku cara membuat lira, memainkan sejumlah lagu hitnya seperti “Stairway to Olympus” dan “Burnt-Offering Smoke on the Water”, dan bahkan cara menggubah lirik. Suatu kali, dalam rangka mengasah kemampuanku berpuisi, dia menyuruhku menjalani misi untuk mencari kata yang berima dengan arugula supaya dia bisa menyelesaikan ode untuk salad aneka sayuran. Yang terbaik yang bisa kutemukan hanyalah pergola. Apollo menyebutku gagal memahami maksudnya—prekursor kuno untuk istilah kontemporer “gagal paham”—tetapi dia terus meneruskan kerja sama denganku.
Pelajaran yang kuterima berlangsung selama setahun. Kemudian, suatu hari, Apollo muncul di mulut guaku bersama setengah lusin demigod belia. “Kau sadar bahwa kau sudah mempelajari macam-macam dariku?” tanyanya. “Sekarang waktunya balas budi, yaitu dengan menularkan kebaikan kepada orang lain! Perkenalkan, ini Achilles, Aeneas, Jason, Atalanta, Asclepius, dan Percy—”
“Nama saya Perseus, Pak,” kata salah seorang pemuda.
“Terserah!” Apollo menyeringai kegirangan. “Chiron, ajari mereka semua yang sudah kutunjukkan kepadamu. Untuk kalian semua, selamat bersenang-senang!” Kemudian, lenyaplah dia.