Selama bergenerasi-generasi, Perkemahan Blasteran hanya terdiri dari dua belas pondok—satu untuk tiap dewa Olympia utama. Pondok berangka ganjil adalah untuk dewa Olympia, sedangkan yang berangka genap untuk dewi Olympia—kecuali Pondok Dua Belas, yang diambil alih oleh Dionysus ketika Hestia menyerahkan kedudukan di Dewan Olympus kepadanya, tetapi itu cerita lain. Singkat cerita, setelah Perang Titan, pacarku yang berhati baik, Percy, meminta dewa-dewi Olympia berjanji bahwa semua demigod, bukan hanya anak dari kedua belas dewa utama, boleh memiliki pondok sendiri.
Tindakan itu betul-betul khas Percy: impulsif dan welas asih, sekaligus menyusahkanku. Harap diketahui bahwa aku adalah arsitek perkemahan, maka akulah yang bertanggung jawab mendesain seluruh pondok baru tersebut.
Jangan salah sangka. Aku seratus persen mendukung rencana Percy. Namun, setelah membangun unit tiga belas sampai enam belas—Hades, Iris, Hypnos, dan Nemesis—area kabin mulai terlihat penuh sesak. Aku menemui Chiron untuk membahas masalah tersebut.
“Ketersediaan ruang,” aku memberi tahu Chiron, “bisa jadi masalah.”
“Ada ide?” tanya Chiron.
Kucetuskan gagasanku keras-keras: “Kita bangun ke atas, mengombinasikan pondok-pondok baru sehingga menjadi satu kompleks tinggi. Demigod yang diasosiasikan dengan bumi di sebelah bawah, yang diasosiasikan dengan langit di sebelah atas.”
Chiron menggeleng. “Ide yang menarik, tapi pengalaman sudah menunjukkan kepadaku bahwa demigod dari keluarga yang berlainan kurang rukun ketika tinggal di bawah satu atap.”
“Oke, coret saja, kalau begitu.” Aku menunjuk hutan di dekat sana. “Bagaimana dengan rumah pohon? Landasan tertutup, titian antarpohon, tangga, ayunan dari tambang—”
Chiron memotong, “Dryad tidak akan setuju. Lagi pula, bayangkan apa yang akan terjadi andaikan ada demigod yang berjalan sambil tidur.”
“Gua?”
“Cuma satu, padahal Apollo sudah mengklaim gua itu untuk Oracle-nya.”
“Rumah perahu?”
“Lagi-lagi masalah berjalan sambil tidur, plus kemungkinan ditenggelamkan oleh naiad. Selain itu, kita membutuhkan danau untuk latihan trireme.”
Aku melayangkan pandang ke sekitar untuk mencari inspirasi. Mataku tertumbuk kepada Hestia, yang sedang mengawasi tungkunya di lapangan bersama. Wajar jika kita menyangka dewi Olympia penting akan menarik banyak perhatian selagi duduk di tengah-tengah perkemahan, tetapi Hestia datang dan pergi tanpa ribut-ribut, biasanya dalam wujud seorang gadis belia berjubah cokelat sederhana. Aku sendiri semula tidak menyadari kehadirannya, sebab dia teramat kecil dan tidak mencolok.
Kecil dan tidak mencolok.
Ilham sekonyong-konyong jatuh dari langit seperti sambaran petir Zeus.
“Akan kudatangi lagi Anda besok,” aku memberi tahu Chiron.
Sang centaurus sepuh terkekeh-kekeh. “Aku tahu ekspresi itu. Kau mendapat gagasan.”
“Iya,” aku mengakui. Malahan, otakku serasa berdengung. “Tapi, aku perlu merumuskan sejumlah detail sebelum membaginya dengan Anda. Sampai besok saat sarapan.”
Hari itu, aku bekerja hingga malam buta, berhenti hanya untuk ... anu, ke belakang. Pagi harinya, aku sudah menyiapkan cetak biru, tetapi aku masih membutuhkan waktu.
Saat sarapan, kusampaikan kabar kepada Chiron. “Aku ingin mendirikan lokasi konstruksi di hutan barat.”
Sang centaurus mengernyitkan alisnya yang lebat. “Kau tidak mempertimbangkan untuk membangun pondok di sana, ‘kan? Seperti yang sudah kukatakan, para dryad tidak akan—”
“Aku hanya membutuhkan area kerja yang terpencil,” kataku. “Aku tidak akan membangun apa pun yang besar atau permanen di lokasi tersebut. Percayalah kepadaku tentang ini, oke?”
Chiron mengelus-elus janggutnya. “Yah, kau memang tidak pernah mengecewakanku. Selain itu, aku berutang budi kepadamu karena sudah mendesain kamar mandi seukuran centaurus di Rumah Besar. Baiklah, Annabeth. Kau kuberi izin.”
Hari-hari berikutnya berkelebat lewat begitu saja, diisi oleh kesibukan mengukur, menggergaji, dan memalu. Pada akhir pekan tersebut, aku sudah merampungkan model desainku yang seukuran aslinya, diletakkan di atas alas beroda supaya mudah dipindahkan. Aku menyuap temanku, dua pegasus Blackjack dan Porkpie, dengan donat sehingga mereka setuju membawakan kreasiku dari hutan ke lapangan bersama.
Segelintir pekemah menghampiri untuk melihat apa yang sudah kubangun. “Imut sekali!” puji Lacy dari pondok Aphrodite. “Tapi, itu apa?”
“Gudang portabel,” tebak Clarisse La Rue, melihat roda-roda. “Atau kereta perang beratap. Tunggu dulu—bukan itu. Kakus gerak cepat.”
“Semua salah,” jawabku, agak tersinggung. “Aku menyebutnya rumah mungil. Silakan lihat sendiri!”
Aku membuka pintu dan mengundang mereka masuk, beberapa orang sekaligus. Ruang duduk utama memang ringkas, tetapi bisa ditempati. Dua sofa yang menyambung ke dinding dapat dipergunakan pula sebagai kasur. Aku mengangkat bantalan sofa. “Lihat ini? Di bawah sini tersedia ruang untuk menyimpan pakaian, baju tempur, senjata. Ukurannya malah cukup panjang untuk memuat tombak listrikmu, Clarisse.”