“Barus! Cukup! Aku bukan pencuri!”
“Lalu apa namanya tiba-tiba datang mengaku cinta, lalu berusaha melenyapkan aku?!” Suaraku meninggi. Rahangku mengeras dan kedua tangan mengepal kuat.
“Aku tidak begitu! Juga bukan Ayah! Kamu asal menuduh, Barus.”
Wanita anggun itu mendekat, semakin dekat.
Kini, aku dan dia tak lagi berjarak. Indra penciumanku mampu membaui wangi parfum miliknya. Aromanya yang kukenal menguar dan memenuhi rongga hidungku. Wajahnya tengadah menatapku. Bola mata hitam miliknya berada cukup dekat. Bibir ranum yang dipoles pemerah bibir perlahan terbuka. Gerakan berikutnya di luar kendaliku. Pesonanya tiba-tiba saja mematikan syaraf logikaku.
“Kamu mau ponselmu?” tanyaku kemudian.
“Ya.”
“Hapus bukti itu.”
Aku menyerahkan ponsel miliknya dan membiarkan Arin menghapus informasi yang ia katakan tadi. Beberapa saat aku perhatikan jari lentiknya membuka, lalu menghapus beberapa file dan gambar.
Matanya kembali menatapku sembari menunjukkan ponselnya.
“Yakin?” Aku kembali mendekat, kembali tak berjarak. Dengan satu gerakan saja, wajahnya kembali memerah.
Aku tidak boleh langsung percaya bahwa Arin benar-benar telah menghapus semua bukti penyuapan yang telah kulakukan. Sialnya, serapi-rapinya aku menyembunyikan ini semua, ternyata kecolongan juga. Heran. Apa wanita ini menyimpan radar untuk mengawasi gerak-gerikku atau dia memasang GPS di tubuhku?
Ah, sial!
Namun, gertakan kecilnya tidak berpengaruh padaku. Untuk mengendalikan atau melunakkannya, very simple. Biarpun dia meledak-ledak dan mengancamku seperti tadi, itu tak berarti apa-apa ketika aku ... mengecupnya. Ya, se-simpel itu. Bukankah meredakan amarah wanita cukup dengan sentuhan lembut?
Attarina Permata, wanita cantik yang telah membuatku jatuh cinta lagi. Merasakan rindu sekaligus nestapa. Sekalipun dia anak Pranata Bakhir, pemilik Putera Mandiri Megatrading, ternyata dia pun punya cinta. Juga punya rindu sepertiku.
Bintang menjadi pengiring pertemuan kami malam ini. Bahkan, aku lupa masih berdiri di carport berdua dengannya. Aku tidak tahu bagaimana awalnya dia bisa sampai di sini sebelum aku. Padahal, jelas kulihat dia masih berdiri di pintu lobi saat kutinggalkan tadi. Ah, dia memang punya banyak cara mengelabuiku. Sebaliknya, aku punya seribu cara pula untuk kembali menaklukannya. Aku bahkan tak peduli bulan dan bintang atau beberapa pasang mata mengintai kami malam ini.
“Sudah semua.” Arin menunjukkan ponselnya dan mengarahkan tepat diwajahku.
Sekali lagi aku tidak percaya begitu saja. Aku tahu dia memiliki folder lain yang kuketahui sandinya. Aku merebut kembali ponselnya dan mencari folder penyimpanan tersembunyi yang barangkali dia lupa aku masih mengingat password-nya.
Sungguh bodoh, bukan?
“Kamu tak mengganti password-nya? Kenapa? 708042. Kamu hanya membalik angkanya.” Aku kembali menunjukkan fitur penyimpanan rahasia dan berhasil membukanya. Aku menggeleng lemah.
“Hapus!” perintahku.
“Kamu bukan atasanku. Aku tak perlu menuruti perintahmu.” Senyuman itu seperti menggodaku.
“Hapus! Aku tak perlu memaksamu.”
“Ada imbalannya,” ungkapnya.