Aku menghela napas. Sebenarnya aku malas menjawab pertanyaan bernada interogasi ini. Bukan kewajibanku juga untuk menjawab kepada setiap orang yang ingin tahu aktivitasku. Aku memilih mengulang ‘tidak bisa’ ketimbang menjelaskan ke mana aku di luar jam kuliahku.
“Sombong! Minta tolong gitu aja nggak mau.”
Deg!
Sombong? Apa yang bisa kusombongkan? Aku pria miskin yang kerja paruh waktu untuk bisa makan dan kuliah. Pria yang sedang menenun mimpi menjadi orang sukses sehingga bisa memiliki harga diri.
Aku berlalu, meninggalkan Arin dan temannya. Sejurus dengan itu, Dandy datang menyapaku. Hanya sebentar, lalu aku pun pergi. Pria itu menyapa Arin. Aku tidak mendengar pembicaraan mereka. Aku memilih meninggalkan gedung perpustakaan menuju masjid kampus yang letaknya berseberangan dengan gedung rektorat.
Buru-buru aku berjalan agar masih bisa salat berjamaah. Setelah itu, aku masih harus makan siang sebelum kelas Pak Beny dimulai. Meskipun kuliah setelah makan siang adalah waktu kritis, perut tetap harus mendapat perhatian, daripada suara berisik dalam perut bisa didengar seisi kelas.
Usai salat, aku menuju kantin Fakultas Pertanian. Letaknya yang dekat dengan Fakultas Farmasi sering menjadi pilihanku. Selain sesuai dengan isi kantongku tentunya. Ada tumis kacang panjang dan telur asin. Entah mengapa itu menu favoritku di sini. Aku membawa serta segelas air putih dan mencari meja yang kosong. Pada jam-jam makan siang seperti ini, mendapat meja kosong adalah keberuntungan.
“Hai! Ketemu lagi!” sapa Arin. Kali ini lebih ramah.