Percaya atau tidak terkadang ketika Allah merindukan seorang hamba, maka akan Allah turunkan ujian. Karena Allah ingin mendengar segala gundah hambaNya.
Namaku Asyadda Tatsbita, sulung perempuan ayah dan ibu. Ditakdirkan Allah dengan cara pendewasaan yang berat. Tapi itu bukan masalah, asal Allah masih ada dihatinya itu bukanlah hal yang berat. Insyaallah.
“Ibu, ayah dimana?” Setelah kucium tangan ibu, aku merasa janggal, dimana ayah? Tidak biasanya beliau tidak menyambut pulangku dari pesantren. Iya aku memang bersekolah di pesantren, sudah terhitung lima tahun aku menimba ilmu di sana.
Ibu tersenyum, tapi tunggu dulu aku mengenal ibuku melebihi apa pun, itu bukan senyum biasa ibu, iya aku tahu dan dapat melihat dari matanya yang sendu. Bibirnya tersenyum tapi matanya tidak dapat seiras dengan bibirnya. Ibu sedih.
Aku masih diam, menunggu apa yang akan beliau katakan, sepertinya berat.
“Nduk, mandi dulu. Ibu udah siapin sarapan.” Aku bukan anak kecil ibu lagi yang dapat mengiyakan semua yang ibu katakan, memang aku belum genap 17 tahun. Tapi aku sangat cukup tahu mengenai kehidupan.
Aku berjalan menuju kamarku, lelah dan penat setelah hampir dua jam menempuh perjalanan. Pesantrenku memang bukan di kotaku, jadi aku harus menempuh waktu yang cukup membuatku lelah duduk di bangku bus umum.
Kupandangi kamar kecilku yang sudah tiga bulan ini tidak kusambangi, ah iya beberapa jadwal tambahan di pesantren membuatku menahan keinginanku untuk pulang. Sebelum naik di kelas dua Aliyah enam minggu sekali aku bisa pulang, meski hanya satu malam, setidaknya aku dapat sedikit mengobati rindu pada ayah, ibu, dan ketiga adikku. Mengingat adik-adikku aku jadi merindukan mereka, niatku ingin keluar kamar mencari Hira, adik terakhirku, tetapi dompet ibu yang tergeletak di atas lemari menarik perhatianku. Entahlah aku sendiri tidak tahu kenapa harus penasaran dengan isi dompet itu, seperti ada sesuatu yang sedang kucari.
Kartu tunggu pasien. Apa ini? Milik siapa? Kenapa ada di dompet ibu? Bohong jika aku tidak memikirkan hal yang takut untuk kupikirkan, tapi aku menepis. Ayah, seseorang yang sejak tadi kucari keberadaannya kini tiba-tiba terpikir di kepalaku.
“Sya..” aku tersadar dari lamunanku ketika ibu memanggil, segera mambuka pintu dan keluar kamar masih lengkap dengan pakaian seragam pesantrenku.
“Lho kok belum mandi, mandi dulu cepet sya. Adik masih tidur.”
“Nggih buk, Asya mandi dulu.”
Usai mandi dan sudah siap dengan baju rumahan, aku kembali keluar menemui ibu. Ibu tidak ada di depan TV, ah mungkin di dapur. Langkah kakiku terhenti ketika mendengar isak tangis kecil tepat di depan ruang sholat. Ibu. Ada apa dengan beliau? Apa yang membuatnya menangis?
Kulirik sekilas dari pintu ruang sholat, kulihat ibu tengah berdoa usai sholat dhuha. Itulah ibu, yang jarang sekali melewatkan ibadah sunnah. Kadang aku malu, aku saja kerap mendapat takziran karena tidak tahajud dan dhuha.
“Ibuk, ini ada telepon.” Aku tahu siapa yang menelfon, terpampang jelas nama “ayah” di layar HP ibu. Tapi aku pura-pura diam melihat TV, jujur aku ingin mengangkat telepon ayah. Tapi entah mengapa aku merasa takut, aku yakin setelah mendengar suaranya akan membuatku sedih.