“Ayah akan kuat menahan penderitaan, tapi ayah akan hancur jika kalian anak-anak ayah turut merasakan.”
**
“Ayah makan dulu, biar Asya suapin.” Tanganku meraih piring di nakas.
Ayah menggeleng pelan, aku menghela nafas menahan tangisku. Ternyata sesakit ini rasanya melihat beliau terbaring rapuh dengan macam-macam alat bantu. Dilarang makan ini dan itu. Ya Allah bisakah engkau bagi sedikit derita ini? Ayah selalu menomor satukan anaknya, kami anaknya pun ingin membantu memikul bebannya.
“Besok pulangnya gimana?” Tanya ayah pelan, sangat pelan. Beliau tidak bisa bersuara keras seperti dulu lagi, ah ayah aku rindu dimarahi ayah karena main hujan dan membolos ngaji. Aku mau di marah lagi yah.
“Besok Asya tak titipin ke tetangga yang juga mau nganter anaknya yah, ayah gak usah mikirin ya.” Jawab ibu, aku tahu ayah pasti kepikiran mengingat aku besok harus sudah kembali ke pesantren sebelum jam 9 pagi.
“Ibu...” ucapku merengek, aku tahu ibu pura-pura lupa untuk mengatakan niatku pada Ayah. Iya, tadi sebelum ayah kembali ke ruang rawat aku sempat berbincang sama ibu, aku berniat untuk keluar dari pesantren. Mengingat keadaan ayah yang membuat aku tidak bisa fokus untuk meninggalkan ayah, belum lagi keadaan ekonomi keluargaku yang bisa di katakan di ujung tanduk. Mungkin dropnya ayah juga karena penurunan ekonomi keluarga kami, usaha ayah yang hampir tidak dapat di selamatkan. Dan cobaan mengenai adik pertamaku yang salah pergaulan. Ah ya Allah aku yakin selama ini beliau memendam itu sendiri.
Ibu menatapku sejenak terlihat enggan untuk membicarakan hal ini, “yah Asya berniat untuk keluar dari pesantren, mau sekolah di dekat sini biar bisa nemenin ayah.” Ibu berkata hati-hati sekali, karena seluruh keluarga pun tahu bahwa cita-cita ayah adalah menyekolahkan anaknya di pesantren.
Ayah menatapku lalu menggeleng, tatapan memohonnya meluluhkan segala tekadku. Lama kita bertatapan tak lama ayah menangis, tak ingin melihat tangisnya aku segera mendekap tubuh ayah. Sekarang aku sadar, cita-citanya sangat besar. Harapannya padaku besar. Mengingat aku anak pertama. Jika aku bisa berkata, sebenarnya harapan ayah sangat sederhana beliau hanya meminta aku untuk sekolah di pesantren, bukan untuk mengikuti pertukaran pelajar, atau pun mengikuti akselerasi. Mimpinya hanya ingin aku masuk pesantren, sudah hanya itu.
Aku kembali menatap matanya, tersirat harapan besar untukku. Baiklah, aku harus mengurungkan niatku. Toh, selama ini aku sama sekali belum bisa membuat bangga ayah.
“Ya sudah Asya tidak jadi keluar, tapi ayah janji ayah sembuh ya. Satu tahun lagi Asya wisuda, ayah harus lihat, ayah juga harus dampingi Asya ujian munaqosyah ya yah.” Ayah tersenyum mengangguk, lalu tangannya mencoba meraih puncak kepalaku. Sadar, aku menunduk agar ayah mudah mengelus kepalaku. Di elus lembut kepalaku yang berbalut hijab. Aku melihat kelegaan dalam matanya. Sykurlah.
**
“Nduk, baca al-waqiah ayah dengarkan!” Pintanya ketika aku usai maghrib. Lirih aku membacanya dengan hati-hati, ayah suka bacaan yang pelan tidak tergesa-gesa.
fa sabbiḥ bismi rabbikal-'aẓīm.
Ayat terakhir sudah usai kubaca, aku berhenti sejenak memandang ayah. Beliau menatapku sedari awal aku membaca surah ini, seperti biasa tatapannya teduh menghangatkan setiap yang melihat.
“Dibaca tiga kali, nduk.” Aku mengangguk dan kembali memulai bacaanku. Meski lantunanku terasa berat karena seharian menangis, tapi ayah masih ingin terus mendengarnya.
Shadaqallahul-‘adzim’.
Aku menutup al-qur’an dan menciumnya lalu kuletakkan di atas nakas kembali. Ruang rawat ayah masih sepi, hanya ada aku dan ayah. Ibu harus pulang mengurus adikku. Aku tahu ibu juga ingin seharian merawat ayah, tapi adikku belum bisa di bawa masuk rumah sakit. Hira masih terlalu kecil untuk menapaki rumah sakit dan juga masih terlalu kecil untuk paham cobaan berat ini.
“Ayah jadi teringat perjuanganmu menghafal surah ini ketika SD. Berkali-kali kamu bilang susah dan enggak mau hafalan lagi, tapi bukan anak hebat ayah jika gampang menyerah. Meski cengeng kamu tetap putri hebat ayah nduk.” Pandangan ayah seperti menerawang ke masa-masa itu, ah iya aku ingat, aku di masa kecil memang sudah di tuntut untuk belajar agama dan mengaji. Bahkan aku masih jelas ingat ketika ayah dan ibu mendaftarkanku di SD yang berlatar belakang islam, artinya aku harus menggunakan seragam lengkap dengan hijabnya. Padahal aku juga ingin seperti temanku yang sekolah di SD negeri dan tidak wajib menggunakan kerudung, dalam bayanganku berangkat sekolah berjalan kaki bersama teman-teman dengan rambut kepang kuda adalah masa-masa yang indah. Tapi justru aku berangkat sekolah di antar jemput ayah dengan motor kesayangannya, karena jarak rumah dari sekolah jauh jadi tidak mungkin berjalan apalagi teman-teman satu desaku tidak ada yang bersekolah di tempat yang sama denganku.
Ngapain milih sekolah swasta yang bayar, wong ada sekolah negeri yang gratis. Begitulah yang sempat aku dengar dari para tetanggaku.
“Yah, sekolah Asya jelek ya kok teman-teman Asya nggak ada yang sekolah sama Asya?” Tanya Asya kecil dengan mata berkaca-kaca. Ayah tersenyum lalu mendudukkanku di pangkuannya.