Akhirnya aku kembali ke pesantren, dengan hati berat pastinya. Memasuki kelas aku disambut dengan pelukan teman-temanku, kemarin memang aku cerita mengenai ayah. Aku merasa beruntung memiliki mereka, terimakasih sudah menemani langkah beratku.
“Asya, kita pikul bareng ya sedihnya.” Aku memeluknya kian erat, merasa sangat beruntung.
Entah setiap aku sedang sedih, dan ada yang menenangkanku malah membuatku semakin menangis. Aku yang sebenarnya susah untuk terbuka mengenai permasalahanku tapi kali ini rasanya aku sedikit merasa berat untuk tidak berbagi. Aku akui ini ujian terberat selama aku hidup.
“Nanti malam kita doa bersama, kita doain ayah Asya bareng-bareng ya.” Tangisku semakin deras, bersandar di bahu teman-temanku berharap sedikit merasa baik.
Tidak hanya sahabat-sahabatku di kelas saja yang patut aku syukuri karena memiliki mereka, para anggota kamarku pun sama baiknya. Sama-sama patut untukku syukuri karena Allah memilih mereka sebagai teman perjuanganku.
“Mba bobo aja gak usah ikut acara dulu, istirahat dulu.” Ucap salah satu adik kamarku, sedari tadi aku memang diminta untuk istirahat dan izin mengikuti acara. Karena mataku masih sembab dan kepalaku memang pusing efek perjalanan dan beban pikir yang menjadi satu.
“Apa sih kadang aku minta izin acara nggak di bolehin, ini aku malah suruh izin.” Jawabku terkekeh mencoba bercanda, karena memang aku salah satu senior di kamar yang santai. Suka cerita, bercanda, tapi beberapa dari mereka ada yang mengatakan bahwa aku galak. Mungkin karena mereka melihat seperti apa aku setahun yang lalu, yang terpilih menjadi ketua kamar. Amanah itu memang sering membuatku mengeluarkan sisi lainku, yaitu galak. Bukan galak sih, lebih ke tegas aja sebenarnya. Tapi ya sudahlah.
“Manut ae rasah bantah!” Saut temanku, Riya. Riya memang teman dekatku sedari kecil di pesantren. Banyak hal yang dia tahu mengenai aku, ibaratnya kita benar-benar sahabat impian orang-orang, hehe. Ya karena memang apa yang terjadi sama aku Riya teman pertama yang aku buat cerita, begitupun sebaliknya. Apalagi tipikal Riya yang memang judes dan galak membuat orang bertanya-tanya apa yang membuatku betah, padahal mereka tidak tahu seperti apa sebenarnya Riya.
“Mbak, maem sek!” Saut adik kamarku yang lain, ah ya Allah terimakasih telah mengirim orang-orang baik dan perhatian seperti mereka.
“Iya dek nanti tak makan. Wes kalian berangkat jamaah maghrib dulu.”
Aku yang memang izin tidak mengikuti jamaah dan acara kembali merebahkan diriku, kamar sepi hanya ada tiga orang. Sepi seperti ini membuatku kembali teringat ayah. Sedang apa ayah sekarang? Andai ada HP sudah sedari tadi aku menghubungi Ayah dan Ibu. Tapi inilah yang dinamakan rindu yang sesungguhnya. Saat tidak dapat bertukar sapa maka doa adalah satu-satunya penyampai terbaik. Aku sejenak memejamkan mata, mengirim fatihah untuk ayah. Sapaan rindu terbaik yang saat ini mampu kulakukan.