Camy yang Tak Bicara

Amarta Shandy
Chapter #1

Bab 1. Perginya Selena

Palu telah dipukul. Camy bangkit dari tempat duduknya seketika. Lebih cepat daripada Oma Hanna yang terkejut karena gadis itu tiba-tiba berdiri dan pergi dari sampingnya. Manusia berjubah hitam di depan ruangan masih komat-kamit berbicara tapi Camy merasa yang ingin diketahuinya sudah cukup. Dia menerobos penjaga pintu dan setengah berlari keluar dari gedung. Pak Sapto, sopir keluarganya, bingung melihat Camy berlari melewatinya begitu saja.

Mungkin benar Pak Sapto adalah sopir keluarganya. Tapi, keluarga mana yang dimaksud? Keluarga Gustav, ayah Camy dengan Selena atau keluarga Gustav dengan istri keduanya? 

Camy mendengus sinis mengingat hal itu. Bukankah sekarang sudah tidak ada 2 keluarga lagi? Gustav dan Selena resmi bercerai beberapa menit yang lalu. Inneke pasti puas sekali karena kini dia bisa menguasai Gustav seorang diri. Gustav benar-benar bodoh menikahi wanita matre seperti Inneke.

“Non Camy! Lho, lho. Non Camy!” seru Pak Sapto semakin bingung karena Camy sudah menyetop taxi dan pergi tanpa menoleh lagi.

Andrico, anak kandung Inneke yang sedang merokok di luar gerbang, terkejut melihat kemunculan Pak Sapto. Dia buru-buru menyembunyikan rokoknya, tapi langsung mengalihkan perhatian pada Camy yang masuk ke dalam taxi. Segera saja dia membuang rokoknya dan berlari menuju motor yang terparkir tak jauh dari tempatnya duduk.

“Saya ikutin Camy, Pak!” seru Andrico lalu memacu motor besarnya mengikuti taxi yang ditumpangi Camy.

Kebingungan Pak Sapto berganti panik ketika Oma Hanna keluar dari gedung sambil meneriaki Pak Sapto. Tergopoh-gopoh dia kembali ke gedung mendekati Nyonya Besarnya.

“Non Camy kabur, Nyonya,” lapor Pak Sapto khawatir disalahkan. “Tapi udah dikejar sama Tuan Muda Andrico.”

“Aduh, gimana ini? Pak Sapto, tolong bantu Selena dulu. Jantungnya kumat lagi,” pinta Oma Hanna panik. 

Pak Sapto segera tanggap. Dia berlari ke mobil dan mengambil obat milik Selena. Karena sudah melayani keluarga itu sejak lama, dia tahu apa saja yang harus dilakukan saat Selena sakit seperti sekarang. Belakangan ini penyakitnya memang sering kambuh. Saat tak ada keluarga, hanya Pak Sapto yang diandalkan Selena untuk menolongnya.

Selena masih terduduk di kursinya dikelilingi beberapa orang yang mencoba menolongnya. Buru-buru Pak Sapto menyodorkan nitrogliserin pada Gustav yang duduk di samping Selena. Gustav membantu Selena sembari menenangkannya. Obat itu segera diterima Selena dan diletakkan di bawah lidah.

“Camy,” desis Selena pelan.

Selena melirik Pak Sapto seolah meminta penjelasan. Dia melihat Camy berlari keluar ruang sidang dengan ekspresi marah yang meluap-luap. Apalagi telah diputuskan bahwa Camy akan tinggal bersama ayahnya. Selena hanya berharap keputusan itu akan menjadi keputusan terbaik untuk Camy juga setelah bahtera rumah tangganya hancur. Bagaimanapun juga, Selena selalu mengkhawatirkan Camy, anak semata wayangnya.

Pak Sapto melirik Oma Hanna dengan gelisah. Dia tidak mungkin memberitahu Selena saat itu juga bahwa Camy sudah kabur entah kemana. Oma Hanna memberi kode pada Pak Sapto untuk diam saja tak usah menjawab. Tapi Selena memanggilnya kembali menagih jawabannya.

“Camy… Mana?” tanya Selena dengan napas tersengal.

“Non Camy... Ke toilet...,” jawab Pak Sapto berbohong.

Selena tahu Pak Sapto tidak pandai berbohong. Gelagatnya yang kikuk itu mudah terbaca oleh Selena. Itu artinya sesuatu terjadi pada Camy hingga Selena membuat dugaannya sendiri. 

Baru ingin berbicara, dadanya kembali nyeri bahkan lebih menyakitkan daripada sebelumnya. Gustav ikut panik sambil berkali-kali menyebutkan nama mantan istrinya itu. Selena tak sadarkan diri sesaat kemudian bahkan sebelum nitrogliserinnya larut seutuhnya.

“Tolong cari anak saya, Pak,” pinta Gustav.

“Baik, Tuan.”


.  .  . 


Andrico memangku Camy yang terkulai tak bersemangat. Gadis 10 tahun itu hanya diam sejak mendengar kabar ibunya masuk rumah sakit kemarin. Gustav melarang anak-anak menyusul ke rumah sakit, maka Andrico mengambil alih menjaga Camy sementara semua anggota keluarga menemani Selena. 

Pagi tadi telah dikabarkan bahwa Selena meninggal dunia karena gagal jantung. Berbeda dengan Andrico yang shock saat mendengar berita itu, Camy justru hanya diam tanpa mengatakan apapun dan tidak memberikan ekspresi apapun selain bibirnya yang melengkung turun. 

Andrico tahu ada kehancuran tak terlihat di hati Camy. Hanya saja, kenapa Camy tidak meledak-ledak seperti biasanya? Untuk orang yang gemar melakukan pemberontakan seperti Camy, agak sedikit aneh saat dia justru diam mendengar kabar kepergian ibunya.

Andrico paham benar, semua kesialan ini berawal dari pernikahan Inneke—ibu kandung Andrico—dengan Gustav—ayah kandung Camy. Seandainya pernikahan itu tak pernah terjadi, akankah ada hal baik yang berbeda?

Suara riuh rendah terdengar sesaat kemudian. Andrico melirik Camy yang masih berada dalam pangkuannya. Dia terlihat begitu lemah dan tak bersemangat. Dia bahkan menjadikan tubuh Andrico selayaknya kursi malas. Hingga ketika jenazah Selena datang, Andrico hanya mampu mempererat pelukannya. Apapun yang ada di pikiran Camy, Andrico tahu hanya kesedihan melingkupinya. 

Suara keranda yang berderit diikuti dengan suara beberapa orang yang mengkomando masuk ke Ruang Tamu. Camy menoleh saat seseorang menyebut nama Selena dengan lirih. Andrico mengusap kepala adik tirinya dengan lembut.

“Aku mau turun,” pinta Camy.

“Yuk, kita samperin Mama,” kata Andrico sambil melepaskannya. 

Camy tidak menyahut. Dia beringsut turun dari pangkuan Andrico langsung menghampiri jenazah ibunya. Seorang pria yang sedang mengatur posisi keranda, didorong oleh Camy. Tenaganya terlalu kecil untuk menggeser pria itu, tapi dia langsung memahami bahwa Camy ingin melihat ibunya. 

Gadis itu langsung membuka penutup keranda selebar mungkin membuat Andrico terlonjak kaget. Dia khawatir orang-orang akan memarahi Camy sementara keadaan Camy sedang tidak begitu baik. Untungnya tidak ada yang menghardiknya. Camy hanya ingin melihat dengan jelas wajah ibunya saja.

“Mama ngapain di situ? Bangun, Ma. Jangan biarin Inneke tinggal di sini lagi,”

“Camy,” ucap Andrico lirih sambil merengkuh kedua lengannya. Usia Camy masih 10 tahun. Ini mungkin saja adalah kasus kematian yang pertama dilihatnya.

“Camy benci sama Mama. Selama ini Mama nggak pernah sekalipun mikirin perasaan Camy. Mama nggak sayang Camy. Sekarang Mama juga ninggalin Camy. Gimana Camy bisa hidup kalau nggak ada Mama?” kata Camy lalu suaranya semakin meninggi. “Camy benci Mama! Camy benci!!!” serunya histeris.

Oma Hanna menghampiri cucunya sambil menangis pilu. Sementara Camy tidak meneteskan air mata sedikit pun. Sorot mata gadis mungil berambut lurus itu justru tajam penuh dengan amarah. Dia seolah ingin membanting apapun yang ada di dekatnya jika Oma Hanna tidak memeluknya. Andrico menyingkir sedikit memberi ruang untuk nenek Camy itu.

Gustav masuk sesaat kemudian. Wajahnya basah oleh air mata. Andrico memberi isyarat pada Gustav bahwa Camy sedang histeris. Tapi begitu mendekat, Camy mendorong Gustav kuat-kuat. Mata Gustav memerah dan entah sudah tetesan keberapa yang keluar dari kedua matanya. Semakin basah saja matanya saat Camy menolaknya.

“Kenapa Papa di sini? Mama nggak suka sama Papa. Mama nggak akan suka lihat Papa di sini sama Inneke. Ini keluarga Camy. Lebih baik Papa pergi dari sini! Kalau Papa pergi, Mama nggak akan ninggalin Camy!” pekik Camy.

“Camy, jangan ngomong gitu, Sayang. Papa kamu...”

“Oma, Papa yang udah bikin Mama seperti ini. Kenapa Oma masih belain Papa?” potong Camy kesal.

“Maafin Papa, Camy. Papa nyesel.”

“Camy juga benci sama Papa. Kecuali Papa bisa kembalikan Mama, Camy bisa maafin Papa. Sekalipun Papa tinggal sama Inneke, asalkan Camy bisa ngomong sama Mama lagi, Camy nggak akan benci Papa,” sahut Camy tajam menusuk batin Gustav. 

Lihat selengkapnya