Inneke memasang wajah masam ketika Andrico mengajak Camy berbicara sambil berjalan ke ruang makan. Camy tidak menyahut semua ucapan Andrico sehingga Andrico lebih mirip berbicara dengan robot berjalan. Yang membuat Inneke kesal, Andrico selalu berhasil membujuk Camy untuk kembali bersekolah.
Camy duduk di sebelah Andrico tanpa berbicara sepatah kata pun. Beberapa pembantu mengitari meja makan untuk melayani majikan-majikannya. Seorang pembantu menuangkan susu di gelas Camy lalu mengisi piring kecil di hadapan gadis cantik itu dengan beberapa irisan kiwi. Ketika dia akan mengisi piringnya dengan nasi, Inneke melarangnya.
“Biarkan dia ambil sendiri!” ucap Inneke. “Manja sekali. Padahal tidak ada yang melayani saya seistimewa itu,” dengus Inneke.
“Biar saya bantu, Nyonya,” ucap salah seorang pelayan sambil mengambil piring kecil untuk diisi dengan buah.
“Nggak perlu. Saya masih normal dan saya tahu dimana letak buahnya. Nggak perlu semua makanan diletakkan di depan saya.”
“Mama,” tegur Andrico karena khawatir Camy akan tersinggung.
“Kenapa? Buat orang normal seperti kita, kita pasti tahu dimana letak buah, gelas, nasi, juga daging. Jadi menurut saya, Camy harus melayani dirinya sendiri. Tidak perlu ada pelayan yang membantunya. Memangnya dia pikir siapa? Ratu? Jika ada yang berhak bersikap seperti ratu, itu saya. Karena saya adalah nyonya besar di rumah ini. Bukan anak-anak dengan otak sedikit gila seperti gadis itu.”
“Mama!” seru Andrico mulai marah.
“Dia emang gila, Andrico!” Inneke balas membentak anaknya.
“Camy cuma pendiam, bukan berarti gila!”
Camy tampak tak peduli dan menunggu pelayan selesai menyiapkan semua hidangan untuknya. Pelayan yang paling dekat dengannya dengan takut-takut meletakkan nasi di piring Camy.
Sejak kecil, Camy terbiasa dilayani sebelum menyantap makanannya. Tanpa disuruh, semua pelayan sudah memahami hal itu. Ketika pelayan itu akan menuangkan sup di mangkuk Camy, Inneke kembali memekik lantang.
“Setetes aja kamu tuang sup itu di mangkuk Camy, kamu saya pecat!” sentak Inneke. “Biarkan saya tahu seberapa normal otak Camy menyuruh tangannya menuang sup ke mangkuknya sendiri,” tantang Inneke sinis.
“Biar aku yang ambilkan buat Camy,” kata Andrico memberi kode pada pelayan untuk menyerahkan sendok sayur kepadanya.
“Andrico! Berhenti memanjakan gadis gila itu! Tempatnya bukan di meja ini bersama kita tapi di dalam kamar rumah sakit jiwa!” sentak Inneke marah karena Andrico terus membela Camy.
Tak disangka, Camy bangkit berdiri hingga kursi yang tadinya diduduki itu mundur dan terjatuh. Bunyi kursi makan beradu dengan lantai saja sudah cukup memekakkan telinga. Ditambah lagi Camy meraih semangkuk besar sup panas di meja lalu melemparkannya pada Inneke.
Kontan saja mangkuk keramik mewah itu pecah setelah beradu dengan meja dan beberapa piring makanan. Tidak hanya itu, isinya juga menumpahi sekujur tubuh Inneke. Sekejap saja meja makan itu penuh dengan pecahan piring dan sup juga makanan lain yang ikut berceceran.
“Selamat makan, Inneke,” ucap Camy datar lalu meraih tasnya dan melenggang pergi begitu saja.
Inneke masih kelojotan kepanasan dan tangannya berdarah terkena pecahan piring. Andrico ikut panik mengurus ibunya begitupun semua pelayan yang langsung sibuk menolong Inneke. Inneke masih sempat memaki Camy yang terus berjalan tanpa menoleh sedikitpun pada keramaian di meja makan.
Sup panas itu baru diangkat dari kompor 10 menit sebelum dihidangkan. Rasa panasnya apalagi ukuran sebanyak itu seolah membakar perut dan kaki Inneke.
Pak Tarto yang mengintip dari pintu karena mendengar keributan itu segera menepi ketika Camy lewat. Buru-buru laki-laki paruh baya itu mendahului langkah Camy menuju mobilnya. Pak Tarto sudah membukakan pintu mobil sisi kiri tapi Camy berhenti di sisi kanan mobil dan menunggu seseorang membuka pintu untuknya. Pak Tarto tahu Camy mulai belajar menyetir mobil sendiri tapi dengan emosi Camy yang tidak stabil seperti ini, Pak Tarto sedikit khawatir.
“Non, saya bisa anter Non Camy ke sekolah. Saya tungguin juga kayak biasanya,” kata Pak Tarto hati-hati.
Camy diam tidak menyahut. Dia tetap berdiri di tempatnya sebagai isyarat bahwa dia lebih suka menunggu dibukakan pintu sisi kemudi.
“Non..,” desis Pak Tarto ragu-ragu.
Camy tetap bergeming. Mau tak mau, Pak Tarto menuruti kemauan nonanya juga. Dibukanya sisi pintu kemudi untuk Camy hingga gadis itu masuk dan menstater mobilnya.
“Non, saya bener-bener nggak keberatan kalau saya antar Non ke sekolah,” tawar Pak Tarto sekali lagi.
“Tutup pintunya,” perintah Camy.
“Tapi saya tetep ikut ya, Non,” kata Pak Tarto sedikit memaksa.
Camy menginjak gas sedikit membuat Pak Tarto terjingkat kaget dan mundur selangkah. Lambat sedikit bisa-bisa kakinya terlindas roda mobil. Pak Tarto buru-buru menutup pintu dan dengan cepat menuju belakang mobil. Namun, sebelum Pak Tarto sempat membuka pintu belakang, mobil silver itu melaju cepat keluar dari halaman rumah besar meninggalkan Pak Tarto yang termangu sendirian.
Pak Tarto sudah bekerja di rumah itu sejak Camy masih bayi. Waktu yang cukup lama untuk mengenal perubahan sifat Camy yang dulunya sangat energic dan ceria. Sikap Camy sedikit berubah ketika Inneke dan Andrico muncul di rumah itu. Dan sejak Selena meninggal, Camy bukan lagi Camy yang pernah dikenal Pak Tarto saat kecil.
Sementara itu, Inneke baru saja digotong ke kamarnya. Pakaiannya diganti dan luka-lukanya dibersihkan. Dalam keadaan seperti itu, Inneke masih saja meracau memaki Camy sekalipun Camy sudah tidak ada di depannya. Andrico memang cemas dengan keadaan ibunya tapi juga kesal karena beliau yang menyebabkan dirinya sendiri seperti itu.
“Mama harus berhenti maki Camy. Dia nggak pernah ganggu Mama kalau Mama nggak ngusik dia lebih dulu,” kata Andrico setelah selesai menelepon Dokter Frans.
“Jadi kamu juga sadar kalau dia gila, 'kan? Tunggu aja sampai Mama ngaduin ini ke Papa.”
“Berhenti nyebut Camy gila, Ma! Camy cuma tertekan. Dia diam bukan berarti gila!” tegas Andrico jengkel. “Buktinya dia ngerti dengan makian Mama dan marah sampai seperti ini. Kalau Mama nggak cari masalah....”