Andrico kesal sekali karena tidak juga menemukan keberadaan Camy sedangkan hari semakin gelap. Andrico menelepon ke rumah yang segera dijawab bahwa Camy belum tiba di rumah. Andrico semakin gelisah karenanya. Dia berharap jika tidak terjadi sesuatu pada Camy.
Andrico segera sadar bahwa dia sudah keluar dari Jakarta. Camy tidak mungkin pergi sejauh itu. Tapi Pak Tarto sudah menjelaskan rute yang sudah mereka lewati dan arah ke Bandung memang belum dilaluinya. Andrico berniat berputar kembali ke Jakarta dan mencari ke daerah Pasar Senen.
Tapi ketika mencari jalur putar balik, Andrico melihat mobil Camy terparkir di tepi jalan. Klakson kendaraan berbunyi sahut menyahut ketika Andrico membelokkan mobilnya ke kiri jalan mencoba menerobos keramaian. Dia tak peduli pada berbagai makian dan nama hewan disebutkan karena Andrico berbelok mendadak. Yang ada di pikirannya hanya 'akhirnya gue nemuin Camy'.
Dengan langkah tergesa, Andrico menghampiri Camy yang duduk di atas batu. Gadis itu hanya diam meringkuk sambil memeluk lutut. Kunci mobil terjatuh di dekat sepatunya. Masih untung tidak ada orang iseng yang mengganggu Camy atau mencuri mobilnya.
Andrico melepas jaketnya untuk menyelimuti Camy. Gadis itu mengangkat kepalanya dan menemukan Andrico yang sedang menatapnya khawatir.
“Kamu bener-bener bikin aku cemas, Camy. Kenapa kamu di sini?” tanya Andrico memeluk Camy.
Perasaan lega, cemas, dan sedih bercampur aduk dalam pikiran Andrico. Camy tidak menyahut. Dia membenamkan wajahnya di dada Andrico hingga sesaat kemudian kaos Andrico terasa basah. Camy menangis mungkin karena takut dengan langit yang semakin gelap. Andrico mengusap rambut Camy dengan lembut.
“Kamu nggak apa-apa? Ada yang nyakitin kamu?” tanya Andrico lembut.
Camy tidak menyahut. Dia hanya mencengkeram pinggang Andrico kuat-kuat. Andrico mengusap rambut dan punggung Camy dengan halus.
“Kamu udah aman sekarang. Aku di sini. Kamu juga harus berhenti bikin aku khawatir. Aku nyari kamu kemana-mana,” bisik Andrico.
“Orang itu,” tunjuk Camy tanpa melihat.
“Orang yang mana?” tanya Andrico karena dia tidak menemukan siapapun di dekat mereka.
Camy mengangkat wajahnya dan meneliti sekitarnya. Memang tidak ada siapapun di sana. Camy menoleh pada Andrico yang menatapnya tidak mengerti bercampur iba.
“Ada yang ganggu kamu?” tanya Andrico sambil mengusap wajah Camy yang basah.
“Ada yang nemenin aku di sini,” kata Camy lalu dia mengedarkan pandangan ke sekelilingnya mencari-cari seseorang. “Tadi dia di sini.”
“Mungkin dia udah pergi sebelum aku datang. Aku lihat kamu sendirian.”
“Kak Iko percaya aku?” tanya Camy.
Andrico mengangguk mantap meskipun dia tidak tahu apakah memang ada seseorang yang tadinya bersama Camy. Camy seringkali berhalusinasi seperti melihat ibunya sedang tersenyum kepadanya atau melihat ada seseorang berdiri di dekat Inneke. Benar atau tidak, Andrico menganggap jika Camy hanya mengalami delusi saja.
“Kita pulang sekarang? Oma Hanna ada di rumah nungguin kamu.”
“Oma?” tanya Camy menegaskan.
Andrico mengangguk sambil tersenyum. Camy selalu suka jika neneknya itu datang. Andrico bisa melihat sendiri raut wajah Camy yang berganti lebih riang. Dibantunya Camy berdiri dan mereka beriringan menuju mobil Camy. Mobilnya terparkir di sebuah warung yang sudah tutup. Dia berniat untuk mengambilnya besok pagi. Dia tidak akan bisa membiarkan Camy menyetir mobilnya sendiri.
“Kamu laper? Mau makan dulu?” ajak Andrico sambil memasangkan seat belt Camy.
Camy menjawab dengan anggukan kepala. Andrico sudah tahu kemana mereka akan pergi. Camy suka sekali dengan kepiting atau lobster. Akan lebih baik jika Camy makan banyak mengingat perutnya yang kosong sejak pagi tadi. Andrico mengusap rambut Camy sejenak. Dia mengabarkan ke rumah bahwa dia sudah menemukan Camy agar Oma Hanna tidak khawatir.
“Kamu baik-baik aja, 'kan?” tanya Andrico setelah selesai menelepon.
Camy tidak menyahut tapi dia menunjukkan lututnya yang terluka. Seperti tergores ranting atau akar tanaman.
“Kenapa bisa gini? Kamu jatuh?” tanya Andrico.
“Aku nabrak pohon karena lari,” jawab Camy pelan.
“Kenapa lari?” tanya Andrico.
Camy melemparkan pandangan keluar jendela. Andrico mengikuti arah pandang Camy tapi tidak melihat siapapun. Hanya ada sebuah rumah dengan pelataran yang luas. Rumah itu sepi sekali. Mungkin pemiliknya sudah tidur atau sedang pergi.