Langit cerah masih membentang luas di luar jendela. Angin sesekali meniup apa saja yang dilintasinya. Beberapa dedaunan di ranting pohon berjatuhan. Daun tersebut sudah tidak kuat lagi menahan terpaan angin.
Aku membuka kaca mataku. Kuusap wajahku yang sedikit berkeringat. Kulihat jam tanganku. Jarum pendekknya hampir menunjukkan angka tiga. Satu jam lagi Sam akan datang menjemputku. Dia telah berjanji untuk mengajakku makan malam sebagai ucapan terima kasih karena aku sudah mau repot mengurus persiapan acara tunangannya.
Kerongkonganku terasa kering saat mengingat kebodohanku. Sewaktu di toko perhiasan Sam dengan serius memilih cincin yang cocok untuk kekasihnya. Dia bahkan mencocokkan motif cincin sesuai zodiak kekasihnya. Di sampingnya aku hanya menelan ludah. Aku masih berpikir bahwa cincin itu untukku padahal jelas cincin itu dipilih berdasarkan zodiak Zizi, kekasinya. Aku terlalu bodoh dan terlalu berharap ceritaku akan happy ending.
Sudah waktunya pulang. Aku segera membereskan meja kerjaku. Ranselku agak berat, jadi aku menjinjing nya sampai bawah. Saat aku akan membuka pintu kaca kantor ini Ryan memanggilku.
"Iya Ryan?"
"Pulang bareng yuk Sab?" Ryan buru-buru membereskan mejanya padahal hari ini dia seharusnya lembur melihat tumpukan naskah masih tebal di sana.
Dari lantai tiga gedung ini dapat aku saksikan mobil Sam baru berhenti di parkiran. "Sorry Yan, aku udah dijemput. Lain kali aja ya?"
"Sam, ya?"
"Iya," jawabku singkat. "Luan ya Yan! Gais luan ya!" pamitku dengan Ryan dan rekan kerjaku lainnya.
Aku sangat merasa tidak enak karena selalu menolak ajakan Ryan. Melihat Ryan yang tergesa-gesa menyelesaikan pekerjaan hanya demi bisa pulang denganku membuatku menjadi orang jahat. Namun mau bagaimana lagi. Aku benar-benar tidak tertarik dengannya.
Aku melangkah cepat menuju parkiran. Aku tidak mau bertemu orang usil yang akan merayuku dengan Sam. Mulutku sampai berbusa menjelaskan kepada mereka bahwa Sam hanyalah teman. Namun ya tetap saja bagi mereka pertemanan kami terasa ganjil.