Tengah malam menuju pergantian hari rumahku sudah terasa sunyi. Bunyi hewan kecil di luar berpadu dengan suara kipas angin dan jarum jam yang berdetak. Kamarku terasa sangat berkabut. Sudah lama tidak dihuni. Aku juga melarang mama membersihkan kamarku setiap hari, karena itu akan memperburuk kondisinya yang sudah setahun ini menderita rematik.
Aku menghirup udara dalam-dalam. Pikiranku masih sibuk untuk mencerna kejadian beberapa jam yang lalu. Beberapa jam yang lalu adalah makan malam kami berdua yang terakhir. Sam memang tidak pernah sedikitpun bisa romantis dengan sahabatnya. Kalau aja pesawat kami tidak delay, mungkin aku akan makan malam di dalam pesawat. Ada beruntungnya pesawat kami delay selama satu setengah jam, jadi aku bisa makan sedikit tenang di bandara .
Penerbangan dari Jakarta ke Pekanbaru berlangsung selama satu jam lebih empat puluh menit. Aku sangat letih, rasanya badanku ingin segera direnggangkan. Sam juga tampaknya mengantuk. Sesekali ia menutup mulutnya yang menguap.
"Sabar ya Sab, acaranya dua hari lagi. Jadi kamu bisa beristirahat besok." Sam mendekapku. "Tidurlah, nanti aku bangunkan kalau udah mau mendarat!" Sam menyuruhku tidur.
Mataku bisa tidur, tapi hati dan pikiranku tidak Sam. Perempuan itu akan marah kalau dia tau kamu mendekapku seperti ini. Tapi aku sama sekali tidak ingin melepaskanmu Sam. Telapak tangan Sam yang hangat menepuk-nepuk lembut kepalaku. Perasaanku menguasai pikiranku sehingga tidak lagi bisa aku menjernihkan hati. Sekuat apapun pagar yang aku pasang, badai tetap mampu merobohkannya.
Aku ingat waktu pertama kali Sam mendekap ku seperti ini. Sekitar empat belas tahun yang lalu. Ketika aku baru pulang sekolah, dan sedang memasukkan sepeda biruku ke teras rumah. Orang-orang sekitar rumahku berteriak dan berlarian. Aku juga mendengar mama dan papa juga berteriak dari dalam rumah.
"Gempa! Gempa!" teriak bapak-bapak dengan toa.
Saat itu aku masih mencoba mencerna kejadian yang sedang berlangsung, mama melarangku masuk ke dalam rumah. Tetapi mama dan papa tidak kunjung keluar.
"Sabrina, kamu ikut pak RT mengungsi yaa! Cepat naik mobil itu! Cepat ya Sab!" Papa mengantarkanku dan menggendongku naik ke mobil pick up.
Aku menurut. Jantungku berdetak tidak normal. Keringat bercucuran membasahi seragamku. Aku gelisah dan masih tidak tau apa yang terjadi. Banyak anak-anak seusiaku yang naik di mobil itu. Beberapa dari mereka ada yang menangis dan berteriak. Sedangkan aku hanya duduk memeluk diriku sendiri.
Mobil mengarah ke dataran tinggi. Kami dibawa ke tempat pengungsian. Sesampainya di tempat pengungsian, banyak kutemui orang-orang sedang menangis. Beberapa ada yang saling memeluk dan memanjatkan doa. Aku dan semua penumpang di mobil turun dan berlarian ke pangkuan keluarganya. Sementara aku dengan seragam putih merah dan rambut dikuncir dua diam tidak berkutik. Aku tidak tau kemana akan pergi. Aku hanya memegang erat-erat ransel biruku.
"Waspada gempa susulan yang ke tiga!" Teriak seorang dengan toa nya juga. Teriakan orang-orang di sana menakutiku. Aku berjongkok dan berusaha menutup telinga. Di keramaian aku hanya diam dan berusaha menenangkan takutku.
"Gempa kembali terjadi!” ulangnya.
Semua orang di pengungsian menangis. Mulut mereka tidak berhenti memanjatkan doa. Semua memeluk keluarganya, sedangkan aku masih berdiri kaku di tempat aku di turunkan tadi.
Aku yang berusia sebelas tahun masih tercengang melihat keadaan di pengungsian. Namun, tiba-tiba saja seorang anak laki-laki sebayaku menarik kasar tanganku. Aku mematuhinya. Anak tersebut membawaku ke tenda paling ujung, dia memaksaku masuk. Tanganku ditarik paksa oleh seorang ibu-ibu yang terlihat masih muda. Dia memelukku dan mengajakku berdoa.
Aku mengerti apa yang sedang terjadi . Aku menangis deras dan berteriak memanggil mama dan papa. Sekuat tenaga aku menepis pelukan dari ibu yang tidak kukenal itu. Aku ingin berlari hendak keluar tenda, namun seorang wanita tua lansung menarik dan memelukku. Ia menjelaskan sesuatu, tetapi aku tidak mengerti apa yang ia ucapkan. Bahasanya sangat asing di telingaku. Aku tidak lagi bisa berkutik. Yang bisa aku lakukan hanya terus menangis membuat aku kelelahan dan tertidur pulas. Ketika aku bangun, suasana sangat gelap. Sudah malam dan sudah tidak terlalu bising seperti siang tadi.
Aku kembali menangis. Dan anak laki-laki tadi mengelus kepalaku. "Tenang, nanti aku dan mbah akan mencari orang tuamu. Kita cari orang tua kita sama-sama ya."
"Aku, aku Sabrina," kataku dengan gugup.