Masa-masa SMA adalah masa di mana kita akan mendapatkan kisah yang manis dan pahit secara bergantian. Manis atau pahitnya cerita itu bisa datang dari mana saja. Bisa dari kekasih, sahabat, guru, organisasi dan lainnya. Kisah manis yang selalu mengangkat kata cinra. Cinta yang selalu di agung-agungkan. Cinta yang katanya indah saat kita SMA. Yang benar saja. Semua cinta akan indah bila akhirnya indah.
Sam beruntung bisa merasakan manisnya jatuh cinta saat SMA. Selama mencintai Zizi, Sam telah membayangkan di salah satu hari Sabtu dia akan mengikat janji dengan perempuan dambaannya. Besok adalah hari Sabtu yang telah diimpikan oleh Sam sejak lama. Di hari Jumat yang terik ini semakin membuat hatiku yang kesepian mengering.
Pagi ini aku sama sekali tidak berniat untuk mandi dan sarapan. Setiap waktu aku selalu memikirkan kenapa Sam tidak pernah bisa melihat siapa yang selalu ada bersamanya, bahkan di saat ia jatuh terpuruk. Sepertinya mata Sam sudah kelewatan minusnya. Atau sebenarnya ada suatu kesalahan di awal cerita ini.
***
Setelah perpisahan kami di pengungsian setahun sudah aku tidak pernah melihat Sam dan keluarganya di kota itu. Sepertinya Sam dan keluarganya memang sudah pindah ke kota yang lebih aman, pikirku waktu itu. Ketika itu juga aku sudah hampir melupakan Sam dan dekapan Sam.
Kenapa hampir? Itu karena aku tidak jadi melupakannya. Papa akan membuka bisnis travel di di sebuah kota yang memberi harapan hidup untuk keluarga kami. Entah dari mana ide itu muncul di pikiran papa, tetapi aku tau itu bukanlah sebuah kebetulan. Aku akan satu kota lagi dengan Sam. Sepuluh hari setelah ide papa itu, kami semua pindah besar-besaran ke sana. Aku akan masuk SMP disana, dan bang Reza juga akan pindah bersamakku. Pasca gempa dan tsunami menimpa kota kami, bang Reza tidak mau lagi tinggal di Jakarta. Bang Reza tidak ingin lagi jauh dari papa, mama dan adiknya yang lucu ini.
Awalnya aku tidak begitu yakin Sam berada di kota itu, tapi tidak ada salahnya bila mencari tau tentang Sam. Aku mencari nama Sam Martaka di pencarian Facebook ku. Dengan mudah kutemukan akun Sam. Mungkin juga karena nama Sam yang terlalu kesastraan, hingga tidak begitu familiar.
Memoriku tidak pernah lupa dengan Sam. Tentang bagaimana dia menarikku atau tentang bagaimana dia yang selalu menenangkankku. Sam adalah pangeran berkuda putih yang menyelamatkan aku dari labirin yang menyesatkan.
Aku menambahkan Sam sebagai teman Facebook.
“Semoga saja Sam masih ingat denganku,” harapku.
Tokoh anime Naruto menjadi foto profil akun Facebook Sam. Di sana juga terdapat keterangan di mana Sam berasal. Benar Sam berada di Pekanbaru, di akunnya tertulis ia bersekolah di SD N 38 Pekanbaru. Aku coba mengirim pesan kepada Sam. Semoga saja ia cepat membalasnya, karena aku tidak bisa berlama-lama di komputer ini.
Peranku tidak terlalu banyak dalam mempersiapkan perpindahan kami. Aku hanya membayangkan seperti apa teman baruku nanti. Seperti apa guru di sana, seperti apa udara di sana. Aku terlalu sibuk berkhayal hingga aku sudah di Pekanbaru, tapi Sam belum juga mengkonfirmasi pertemanan dan membalas pesanku di Facebook. Aku sangat kesal, padahal aku ingin tau dimana ia tinggal dan melanjutkan SMP. Ya sudahlah, hilang sudah harapanku untuk bertemu lagi dengan Sam. Mungkin semua ini memang kebetulan, bukan takdir dan segala macam.
Papa dan mama mendaftarkan aku dan bang Reza ke SMP 13 Pekanbaru. SMP tersebut yang paling dekat dengan rumah kami, jaraknya sekitar tiga kilometer. Aku masuk di kelas tujuh G dan bang Reza delapan A.
Sebulan sudah aku di Pekanbaru, dan aku sudah mulai terbiasa dengan kota ini. Berbeda dengan bang Reza yang masih membawa Jakarta dalam dirinya. Bahkan gayanya bicara masih tidak bisa menyesuaikan dengan orang di sini. Mungkin karena bang Reza kelamaan di Jakarta, ditambah lagi bang Reza mendapatkan teman yang juga berasal dari Jakarta. Jangan ditanya gimana solidnya pertemanan mereka selama sebulan ini. Solid kuadrat malah.
Suatu waktu, pernah papa dan mama tidak bisa menjemputku. Bang Reza juga sudah pulang dengan Bang Yogi, temannya yang berasal dari Jakarta itu. Alhasil ini adalah pertama kalinya aku naik angkot sendirian. Ada tiga orang anak laki-laki yang juga menunggu angkot, beruntunglah aku tidak sendirian nanti. Kalau saja mama dan papa mengabariku bahwa mereka akan telat atau tidak menjemputku mungkin aku tidak ketinggalan angkot dan bus yang ramai.
Satu dari tiga anak laki-laki tadi di jemput mamanya. Perkiraanku salah, mereka di sini bukan menunggu angkot sepertiku, mereka menunggu dijemput orang tua mereka. Aku mendengus kesal saat itu. Hari beranjak sore dan aku sangat lapar, bila aku membelanjakan uang ini nanti aku tidak memiliki uang untuk membayar angkot.
Aku memberanikan diri melihat dengan jelas dua anak laki-laki tadi. Tampaknya mereka sebaya bang Reza. Satu diantara mereka melihatku, kemudian satunya laginya juga melihatku dan mereka berdua melihatku. Speechless, itu Sam. Aku menghampiri mereka. Aku masih memperhatikan dia. Rasanya aku ingin berteriak atas semua ketidakmungkinan ini.
"Sam ya?" kataku.
"Mm iya. Kamu siapa ya?" jawabnya.