Dalam hitungan jam akan terjadi kiamat pada dunia yang aku bangun dalam hatiku. Meskipun hanya tunangan, tapi itu jelas garis finish nya. Semua tidak ada lagi artinya. Seharusnya dari dulu saja aku robohkan harapan yang aku bangun itu. Seharusnya aku bakar saja ceritanya biar tidak ada lagi kenyamanan bagi tokohnya. Rasanya sakit sekali. Bahkan lebih sakit dari masa saat Sam membenciku tanpa alasan. Saat untuk pertama kalinya kami bertengkar.
***
Di pertengahan semester dua kelas sebelas, Sam mendadak berubah 360 derajat Keadaannya sudah berbeda. Sam putus dengan Mila menjelang mendekati ujian kenaikan kelas sebelas. Mila beralasan ingin fokus belajar. Namun seminggu putus dari Sam, beranda Facebook kami di penuhi kabar Mila baru saja pacaran dengan ketua osis. Sam sempat kecewa, tapi kabar baiknya Sam dijauhkan dari orang yang tidak baik buatnya.
Keadaanku juga berbeda. Aku dan Arif putus di pertengahan semester dua kelas sebelas. Arif bilang aku tidak pernah tulus menjalankan hubungan dengannya. Aku meng-iyakan saja ketika Arif minta putus saat itu. Karena aku tidak mengerti tulus seperti apa yang Arif maksud. Padahal selama menjalani hubungan dengan Arif, aku tidak pernah bertindak yang membuatnya kecewa ataupun marah. Namun, Arif masih saja menyalahkanku. "Baiklah!" kataku dengan singkat. Karena percuma saja banyak berkata yang hanya membuang energi, toh ujungnya tetap putus.
Sore itu aku langsung menghubungi Sam. Seperti kebanyakan orang yang diputuskan pacarnya, pastilah ada sedihnya. Aku memerlukan Sam untuk menerangkan gelapnya pikiranku saat itu. Sam hanya membaca Line ku. Aku kecewa. Bukankah aku selalu ada saat Sam membutuhkanku. Tapi Sam malah bersikap sebaliknya.
Malamnya aku menelpon Sam. Hasilnya nihil. Sam menolak panggilanku. "Kenapa Sam? Apakah Arif udah cerita ke kamu? Terus kamu juga menyalahkan aku?" Isi voice note ku yang hanya Sam dengarkan.
Mungkin sudah ratusan pesan yang aku kirim, namun Sam bereaksi Sama. Aku menangis semalaman, mengunci pintu kamar agar bang Reza tidak mengganggu tangisku. Malam itu aku bingung atas tangisku sendiri. Aku menangisi berakhirnya hubunganku dengan Arif atau Sam yang tidak meresponku lagi. Astaga, aku ini memang anak SMA yang labil.
Tiga hari Sam mengabaikanku. Sam membuat hariku menjadi bad mood. "Sab kau gak bisalah terus nyalahin diri kau. Kau gak salah Sab. Temen kau itu yang bermasalah, merajuk tanpa alasan yang jelas," kata Habib menenangkanku.
Habib teman sebangku aku sejak kelas 10 dan juga teman curhatku di SMA. Habib benar, yang bermasalah adalah Sam. "Tanpa panas, tanpa awan dan tanpa mendung malah tiba-tiba hujan, kan gak mungkin sab!" lanjut Habib.
"Iya Bib emang gak mungkin. Makanya aku tu bingung. Apa penyebab hujannya turun Bib?"
"Hmmmm yang tau penyebabnya berarti si Sam itulah Sab!"
"Haduh Bib, kan emang itu yang aku maksud. Haduuuh Bib!" Aku mencoret-coret bagian belakang buku tulisku. "Yang bikin aku bingung tu, gimana caranya aku bisa tau penyebabnya apa. Sam tu aja enggak bisa dihubungi sama sekali loh."
"Hmmmm ntar malam coba lagi deh chat dia. Kalau gak direspon juga, sini aku kawanin kerumahnya. Kita kepung rumahnya!"
"Hmmm pinter juga kau Bib. Yowes besok kalau gak baikan juga aku kerumahnya."
"Cakep, yauda besok kabari aku aja."
"Buat apa?" heranku.
"Kerumah Sam lah! Kan bareng aku."
"Gak ah! Aku sendiri aja!"
Aku tidak pernah ragu untuk membicarakan Sam dengan teman SMA. Tapi Sam malah sebaliknya. Sam mengunci rapat tentang pertemanan aku dengannya. Mungkin di sekolah Sam yang mengetahui aku dan Sam berteman dekat adalah mereka yang satu SMP dengan kami. Lagi-lagi Sam memberikanku teka-teki yang harus aku pecahkan sendiri.
Aku kembali menghubungi Sam. Pukul 00.45.
AKU : Ayolah Sam, bercandamu gak lucu Sam!
Beberapa detik kemudian ceklisnya berubah menjadi warna biru.
SAM : Belum tidur?
AKU : Ya belumlah.
SAM : Tumben.
AKU : Kenapa Sam?
SAM : Kenapa apanya?