Can I Be The One

Liza Aprilia Y
Chapter #8

Merapal Doa

Andai saja kita bisa memilih kepada siapa hati kita jatuh. Andai saja kita bisa menghapuskan semua perasaan yang terus tertahan. Andai saja kita bisa melihat hal yang akan terjadi nanti di masa depan. Atau andai saja hal-hal yang kita harapkan langsung menjadi kenyataan, tanpa perlu menunggu waktu yang menjawab.

Namun, setiap kisah tidak akan pernah selesai bila aku terus berandai. Setiap waktu akan terbuang sia-sia bila aku terus bertahan pada hal yang tidak mungkin menjadi nyata. Andaianku tidak bisa membuat takdir luluh. Takdir tak mau mewujudkan anganku, karena takdir punya aturannya sendiri. Dan konon katanya sesuatu yang ditakdirkan untuk kita, pastilah baik untuk kita.

Besok Sam akan menjemput perempuan yang sudah menjadi takdirnya. Atau bisa jadi Sam dan Zizi tidak jadi menikah. Bisa jadi ada sesuatu masalah yang membuat mereka batal menikah. Kalaupun mereka sudah menikah, bisa jadi karena suatu masalah mereka bercerai. Dan bila hal itu terjadi berarti mereka tidak ditakdirkan bersama, mereka tidak berjodoh.

Astaga! Sahabat macam apa aku ini. Maafkan aku Sam, telah menghayal yang tidak-tidak. Maafkan aku telah merapalkan kata yang takutnya akan menjadi doa. Tenang Sam. Aku sangat yakin kalian berjodoh, karena kamu telah sangat lama menunggu dan berdoa untuk Zizi.

***

 

Sam pernah memintaku untuk selalu mendoakan dirinya dan Zizi agar berjodoh. Tetapi aku tidak pernah menuruti permintaan Sam. Walaupun dalam situasi aku sudah tidak berharap lagi dengan Sam, aku tetap tidak merapalkan Sam dan Zizi berjodoh dalam doaku. Ada hal yang lebih penting dari persoalan jodoh, misalnya kesehatan, rezeki, kebaikan, kelancaran dan masih banyak lagi. Maafkan aku Sam, tidak menuruti inginmu yang itu.

Aku dan Sam tengah memasuki masa-masa perpisahan sekolah. Meskipun berbeda SMA, kami mencari baju perpisahan bersama-sama.

"Sab kalau yang ini Zizi yang pakai pasti makin banyak yang klepek-klepek sama dia," kata Sam melihat gaun yang ku pilih.

"Iyaa hahaha." Aku sedikit menyengir, sakit rasanya mendengar perkataan Sam barusan. Sudah jelas ini baju pilihanku, bukannya memujiku, malah memuji Zizi yang belum tentu menyukai gaun berwarna dongker ini.

"Apa aku beliin aja buat dia?"

"Hah! Gila kamu Sam!"

"Lah kenapa? Biasanya juga selera kami sama."

"Sam ... Kamu udah gak di anggap ada sama dia dan kamu masih aja baik gini."

"Sabrina, mau berapa kali aku harus bilang. Zizi itukan agamis pasti dia ..."

"Kamu gak tau ukuran dia, dan kali ini belum tentu selera kalian sama. Oke? Aku mau bayar dulu!"

Sam tidak menjawab. Mungkin karena nada bicaraku yang sedikit tinggi.

Lihat selengkapnya