Sewaktu SMA aku sangat ingin segera lulus dan kuliah, namun di pertengahan semester lima rasanya aku ingin kembali ke SMA. Kegiatan dan kesibukkan kuliah dengan SMA sangat berbeda. Di semester pertama saja aku sudah dihadapkan dengan segudang tugas, kerja kelompok dan kegiatan wajib lainnya. Hingga semester lima seperti sekarang ini kesibukkanku atau lebih tepatnya keproduktifanku tidak pernah berkurang, malah semakin bertambah.
Aku mengukur kesibukkanku dengan memperhitungkan waktu libur yang bisa aku nikmati dengan tenang. Namanya saja libur dan tanggal merah, di samping itu ada tugas dan kerja kelompok yang menunggu untuk diselesaikan. Namun, seiring berjalannya waktu aku sedikit sudah terbiasa dan ikhlas. Karena aku tau di Pekanbaru ada orang tuaku yang bekerja lebih lama tanpa memikirkan liburan. Rasanya aku ingin segera lulus, bekerja dan kembali ke pelukan keluargaku dengan segala kesuksesanku. Aku yakin aku bisa sukses.
Di samping itu, aku juga tau bahkan bukan cuma aku yang lelah. Teman-temanku juga, Sam dan bang Reza juga dan semua orang juga pasti merasakan kelelahan. Kalian tau, begitulah cara aku meredam penyakit seperti kelelahan, kesedihan, dan kegagalan. Aku kembali melihat keluar, dan hasilnya bukan cuma aku yang sedang bermain dengan semesta, semua mahluk di bumi juga bermain bersamanya.
Eh iya, kenapa cerita ini jadi kebanyakan tentang aku. Harusnya tentang Sam, karena dia adalah tokoh utamanya dan karena dia yang akan bahagia nanti.
***
Sudah hampir dua tahun aku tidak bertemu dengan Sam, padahal Jakarta dan Bandung tidak begitu jauh. Kami memang sama-sama sibuk, sesekali kami hanya menelpon untuk berbagi rindu. Sam merindukan Zizi dan aku merindukan seorang yang sedang merindukan orang lain. Eh bukan, lebih tepatnya kami sering berbagi keluhan. Di sepanjang telponan akulah yang selalu menebar semangat, padahal aku dan Sam sama lelahnya. Tapi ya begitulah Sam, dia selalu menjadikan aku tempat pembuangan kegelisahannya saja.
Dulu ketika Sam ke Bandung, kami berencana akan mudik bersama. Lagi-lagi itu hanya sebatas rencana. Berbeda kampus berbeda pula kesibukkannya. Sepertinya pun selama di Jakarta Sam baru dua kali pulang ke Pekanbaru. Sedangkan aku mungkin sudah empat kali, maklumi saja aku mudah sekali untuk merindu. Malah kadang sampai sedih karena tidak kuat lagi menahan rindu. Ya, akhir-akhir ini pun aku sudah agak sedih menahan rindu dengan Sam. Terlebih lagi ketika tau yang Sam rindukan hanya Zizi seorang.
Rabu pukul 11 siang waktu Bandung, aku bermalasan ria di tempat tidur tercinta sambil mendengarkan lagu Tersenyumlah oleh Angsa & Serigala. Lagu ini selalu bisa menjadi suntikan semangat untukku.
Hari ini tidak ada kelas, jadi ya aku bisa sedikit menghemat air dengan tidak mandi pagi. Teman sebelah kamarku mengetuk kencang pintu kamarku, dengan malas aku bangkit untuk membuka pintu.
“Ada yang nyariin kamu Sab. Cowok, di bawah tuh.”
Aku menggaruk kepalaku yang tidak gatal. “Temen kampus aku ya?”
Teman sebelah kamarku itu menaikkan bahunya. “Gak tau, buruan gih!”
“Eh makasii ya mbak!” teriakku ketika teman sebelah kamarku masuk ke kamarnya. Ia hanya mengangguk. Aku kesulitan mengingat nama orang, karena teman sebelah kamar aku panggil dengan sebutan ‘mbak’.
Aku mengambil hp, tidak ada satupun pesan masuk. Siapa pula yang datang namun tidak mengabariku terlebih dahulu. Bergegas aku mencuci muka, mempolesi sedikit bedak, merapikan rambutku, memakai cardigan dan berlari kecil menuruni tangga.
Kaget bukan main. “Mmm hai!” sapaku.
“Eh, aku kira kamu masih tidur.”
Aku duduk di sampingnya. “Hehehe. Mmm ada perlu apa tu bang?”
“Kamu hari ini ada jam kuliah?”