Angin menari dengan lembut. Merayu apa yang ia sentuh dan menjadikan benda itu ikut menari. Sore ini di Bandung atmosfirnya sangat bekerja sama dengan mereka yang sedang kelelahan dengan kegiatan-kegiatan dunianya. Di pondok mendongeng ini kalian bisa melihat keramaian yang mendamaikan. Di sini banyak anak-anak serta beberapa orang dewasa bersantai ria di arena permainan. Di samping ayunan terdapat bangku panjang dari rotan, bangku itu diduduki orang-orang yang sedang menikmati jajanannya. Beberapa meter dari bangku itu ada dua orang pedagang kaki lima, yang satu berjualan batagor dan yang satu lagi menjual air kelapa. Tempat ini seperti pusat kota, namun tidak banyak dilalui kendaraan. Motor dan mobil biasanya terparkir di sebrang jalan yang banyak dilintasi sepeda dan para pejalan kaki.
Hari ini tidak ada kelas mendongeng, namun aku selalu ke tempat ini ketika aku lelah, bosan dan terkadang aku membuat tugas kuliah disini. Ketika lelah ataupun sedang merasa tidak baik, tempat ini mampu menarik hal negatif dalam diriku. Rasanya adem saja menyaksikan orang berlalu lalang dengan tujuan yang berbeda-beda.
Terkadang, aku juga membaca raut wajah dan gerak mereka. Ada yang melintas dengan menutupi mulut dan hidungnya dengan masker dan berjalan dengan cepat. Ada yang sedang menyandang ransel, ia berjalan dengan tatapan kosong dan langkah kaki yang pelan. Bahkan aku pernah mendapatkan sepasang kekasih yang ribut. Seketika aku menjadi lebih tenang, ternyata bukan Cuma aku yang sedang berada dalam labirin semesta, seluruh mahluk di bumi ini mendapatkan ujiannya masing-masing.
Tempat ini juga mengingatkan aku tentang bang Fajar. Rasanya tidak mungkin saja kami semakin dekat sekarang. Lucu mengingat dulu bang Fajar sering menceramahi aku yang sering putus asa karena kelelahan pada awal memasuki perkuliahan. Bang Fajar memang banyak membantuku bahkan hingga aku semester dua. Namun, banyak kakak tingkatku yang tidak senang melihat kedekatan kami. Dan aku ingin mencari aman saja, karena berada di kota orang maka aku harus pandai-pandai. Aku sudah tidak lagi meminta bantuan bang Fajar, sudah tidak menebeng pulang dengannya dan sudah tidak lagi membalas pesannya.
Tapi, lihatlah kini semesta seolah-olah mengembalikannya. Semesta mengembalikan apa yang memang menjadi milik kita. Meskipun telah hilang bahkan jauh sekalipun semesta punya caranya sendiri.
Ponselku berdering, aku tersenyum lebar membaca nama si penelpon.
“Iyaa hallo?”
“...”
“Tenang, semua tugas Sabrina beres. Tinggal nunggu waktu untuk mengumpulkannya aja.”
“...”
“Abang seius?”
“...”
“Baiklah, sabtu pagi Sabrina tunggu.”
“...”