Terkadang aku tak suka berdiam diri. Diamku tak sepenuhnya diam. Pikiranku terus mengalun entah kemana. Ada banyak yang aku rangkai ketika diam. Seperti merangkai gambaran masa depan nanti. Diamku selalu saja mengindahkan Sam Martaka. Padahal sudah lama sekali aku tak menghubunginya, namun tetap saja aku menyisakan ruang untuknya.
Semakin dewasa semakin banyak yang aku mengerti. Semakin bisa ku terjemahkan seluk beluk kehidupan. Semakin tau mana yang fana. Namun, satu hal yang aku tidak bisa menerjemahkannya. Ialah Sam. Bertahun-tahun aku membenamkannya agar ia tidak muncul lagi di pikiranku. Namun, Sam tidak pernah hilang. Sam semakin tenggelam menuju dasarnya. Mencapai hatiku. Rasanya menjadi semakin sesak. Astaga, aku benar-benar merindukan Sam sekarang!
***
Sepertinya Bandung memang membuatku kesepian. Aku punya beberapa teman, namun tidak ada seorangpun di antara mereka yang bisa menjadi teman dekatku. Bayangkan saja betapa sulitnya aku menahan semua gejolak di pikiran dan hatiku. Seperti bom, pada waktunya ia akan meledak. Bisa jadi aku hancur karena ledakkannya. Disaat seperti ini diriku semakin menginginkan Sam. Karena dialah yang berhasil menjinakkan bom itu . Tapi Sam, dia sangat sibuk. Sibuk dengan teman barunya. Aku tau itu.
Aku tau akhir-akhir ini Sam sering hang-out dengan teman-teman barunya. Makanya tak sempat membalas pesanku. Hah! Lihatlah, mengapa aku menjadi bodoh seperti ini. Ketika Sam bisa mendapatkan teman dekatnya yang baru, mengapa aku tidak?
Aku mendengus sebal. Sebelumnya aku tidak pernah ditusuk kesepian. Aku selalu berdamai dengan kesepian, namun kali ini berbeda. Kutatap cermin bundar antik bergaya klasik yang ku gantung di samping jendela kamarku. Cermin itu pemberian bang Fajar. Beberapa hari yang lalu bang Fajar membawaku ke tempat yang menjual barang antik dan klasik. Semua barang-barang di sana sangat unik, tentunya aku sangat suka.
"Kamu pasti ingin memiliki semua barang di sini. Iyakan?" dugaan bang Fajar.
Aku tersipu malu dan mengangguk.