Seperti rumah, kemanapun pergi rasanya selalu ingin kembali ke sana. Setiap kali melangkah menjauh intuisiku terus mengingatkanku untuk berbalik dan pulang. Sama hal nya dengan Sam Martaka. Meski telah lama ku tinggal pergi, intuisiku selalu meminta untuk kembali.
Aku takut bang Fajar hanyalah pelampiasan kesepianku karena kehilangan Sam. Namun, setelah ku pikir-pikir semua itu tidaklah benar. Entahlah, itu hanya pikiranku saja. Aku bahagia dengan hadirnya bang Fajar. Kini, hampir setiap hari kami bertemu. Bang Fajar selalu menjemputku ketika pulang kampus. Sebelum kembali ke kostku, bang Fajar selalu mengajakku membeli ice cream di depan toko bunga Mantra. Bayangkan betapa bahagianya aku karena setiap hari selalu makan ice cream. Untuk hari ini kami berdua bosan dengan ice cream, jadi bang Fajar mengajakku masuk ke toko bunga Mantra.
Aneh, pikirku ketika pertama kali membaca nama toko itu. Biasanya hal-hal yang ada bunganya mengandung unsur romantis, namun toko ini malah mengandung unsur mistis. Saat membuka pintu, lonceng berbunyi. Lonceng itu diletakkan di atas pintu, jadi setiap pintu terbuka lonceng akan berbunyi. Seorang pria berkumis tipis, mengenakan celemek coklat dan topiĀ newsboy capĀ yang berwarna senada dengan celemeknya menghampiri kami. Ia tersenyum dan menyapa kami. Lekukan senyumnya sangatlah indah, ditambah lagi dengan hidungnya yang mancung, alis tebal dan kumis tipisnya itu. Sebagai perempuan normal pastilah aku terkagum. Tatapannya sama teduhnya dengan bang Fajar. Dan seketika aku merasa damai. Entahlah, mungkin hanya perasaanku. Atau memang begitulah perasaan semua wanita ketika melihat pemuda seperti penjaga toko bunga ini.
Bang Fajar lebih dulu menjelajahi toko bunga ini, sedangkan aku masih terpaku di tempat pertama kali penjaga toko itu menyapa kami. Aku terlalu lama termenung, bang Fajar memberikanku setangkai bunga matahari segar. Aku mengangguk. Bang Fajar selalu tau apa yang aku sukai. Lalu bang Fajar meminta penjaga toko bunga itu membungkus bunga yang bang Fajar pilih untukku.
Tidak sampai sepuluh menit kami keluar dari toko itu. Sebetulnya aku ingin berlama-lama di sana. Bukan karena penjaga toko itu, namun karena aroma bunga yang beragam memenuhi toko itu. Tidak ada hal mistis di sana, entahlah mengapa si pemilik memberi nama toko itu dengan Mantra.
Mobil bang Fajar menuju ke kosku. Setelah membeli bunga kami tidak banyak bicara. Ya begitulah bang Fajar, berbeda dengan Sam yang selalu punya hal untuk dibicarakan. Namun, tetap saja aku merasa bahagia dengan adanya bang Fajar, dengan duduk disampingnya seperti ini membuat tubuhku memberikan aura positif. Hatiku selalu memuji bang fajar ketika sedang bersamanya. Terlebih lagi melihat bang Fajar yang selalu fokus dalam menyetir, membuat aku tersenyum sendiri. Bang Fajar tau aku menatapnya, dia tersenyum dan mengacak-acak rambutku.